JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Mantan Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Soemino Eko Saputro kembali disidangkan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (9/11). Terdakwa mengakui telah menunjuk langsung Sumitomo Corporation sebagai rekanan pengadaan pengangkutan 60 unit kereta api listrik (KRL) dari Jepang.
Pengakuan ini disampaikan Soemino kepada majelis hakim dalam persidangan yang memasuki agenda pemeriksaan terdakwa tersebut. Ia menjabat posisi dirjen perkeretaapian periode 2005-2007, saat kemeneterian tersebut dipimpin Hatta Rajasa.
Terdakwa Soemino diduga melakukan korupsi pada proyek pengadaan KRL tersebut, karena menyalahgunakan kewenangannya dengan menunjuk langsung Sumitomo. Ia pun mengakui bahwa perintah penunjukan Sumitomo itu dikeluarkan melalui surat yang ditujukan kepada Satuan Kerja (Satker) di Ditjen Perkeretaapian yang menangani pengadaan itu.
Dirinya memberikan disposisi ke Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) Mutakin untuk ditindaklanjuti. Alasannya, Satker bekerja lamban sehingga sehingga dirinya harus mengambil langkah mempercepat pelaksanaan pengadaan. "Sebagai Dirjen dan sebagai penanggung jawab transportasi untuk mengingatkan, saya menandatangani (disposisi penunjukan langsung) secara formal," kata Soemino.
Menurut dia, saat dirinya berkunjung ke Jepang, sejumlah operator di Jepang menyarankan agar Sumitomo menjadi perusahaan pelaksana pengangkutan KRL hibah dari Jepang ke Indonesia. Saat itu dia hanya disodori berkas surat berbahasa Inggris dan tidak diberi kesempatan menganalisis. “Saya hanya diminta menandatangani dan saya ikuti saja," kata dia.
Usai memeriksa keterangan terdakwa Soemno, majelis hakim yang diketuai Marsuddin Nainggolan memutuskan untuk menunda hingga Senin (14/4) mendatang. Tim penuntut umum pun diminta hakim ketua untuk menyiapkan tuntutan yang harus disampaikan pada persidangan tersebut.
Sebelumnya, terdakwa Soemino didakwa memperkaya diri sendiri dengan melakukan penunjukan langsung kepada Sumitomo Corporation selaku rekanan dalam proyek pengangkutan KRL bekas yang merupakan hibah dari Jepang. Pelaksananya proyek ini diduga merugikan negara Rp 20,5 miliar. Dalam kasus ini, Menko Perekonomian Hatta Rajasa pernah diperiksa KPK, karena proyek itu berlangsung saat ia menjabat Mehub.(dbs/spr)
|