Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
Legislatif    
Parliamentary Threshold
Terjadi Problem Mendasar Jika Persentase 'Parliamentary Threshold' Dinaikkan
2020-07-07 21:03:35
 

Wakil Ketua Komisi II DPR RI Arwani Thomafi.(Foto: Runi/Man)
 
JAKARTA, Berita HUKUM - Wakil Ketua Komisi II DPR RI Arwani Thomafi menyampaikan bahwa keberadaan Undang-Undang Pemilu memang harus selalu di-update ataupun direvisi pada setiap periodenya. Hal itu dikarenakan ada kebutuhan-kebutuhan yang banyak disuarakan oleh masyarakat.

"Karena ada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang harus disesuaikan dalam UU Pemilu ini. Dan juga kebutuhan-kebutuhan yang disuarakan oleh masyarakat, yang tentu dalam posisinya untuk menghargai kualitas penyelenggaraan demokrasi pemilu kita," ucap Arwani dalam acara diskusi Forum Legislasi yang digelar di ruang Media Center DPR RI, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (7/7).

Politisi Fraksi PPP itu mengatakan, ada beberapa hal yang menjadi fokus Komisi II dalam isu terkait UU Pemilu. Ia menyatakan, hampir semua fraksi di DPR RI sepakat untuk meninjau kembali jadwal pelaksaan pemilu kepala daerah.

"Ada yang berpendapat waktunya disesuaikan/dinormalisasikan sesuai dengan masa jabatan kepala daerah tersebut. Selain itu yang selalu hangat dibicarakan adalah masalah parliamentary threshold, presidential threshold, serta soal utak-atik sistem pemilu kita, apakah proporsional terbuka atau tertutup,dan mungkin juga mempertimbangkan sistem campuran," ungkap Arwani.

Sebenarnya, sambung Arwani, revisi UU Pemilu itu selain untuk penyesuaian keputusan MK adalah merupakan kebutuhan hukum yang muncul dan disuarakan oleh masyarakat guna memperbaiki proses pemilu sebelumnya yang dirasa ada persoalan mendasar. Yakni berkaitan dengan hak-hak politik dasar warga negara, dan juga berkaitan dengan kualitas penyelenggaraan itu sendiri.

"Saya kira menjadi sangat penting jika hal itu nanti diakomodir dalam revisi UU Pemilu tersebut. Kita tidak perlu melebar kemana-mana, kalau acuannya itu konsisten dan betul-betul kita ingin menjaga, jangan sampai justru undang-undang nantinya dibuat hanya untuk pijakan untuk memudahkan partai politik atau kontestan tertentu. Misalnya tradisi menaikan parliamentary threshold (PT)," ujarnya.

Arwani menyampaikan, seolah-olah menaikan persentase PT itu akan menaikkan kelas demokrasi kita. "Ini menjadi sesuatu yang harus kita buktikan, apa benar kalau menaikan PT dari 4 persen ke 5 persen itu betul-betul sudah mencerminkan demokrasi kita naik kelas. Atau justru ada kepentingan-kepentingan tertentu di luar peningkatan kualitas demokasi kita," tandasnya.

Dikatakannya, kita sudah sepakat menggunakan sistem proporsional. Sistem ini dipilih karena memang dirasa cocok dengan model keragaman dan kebhinekaan yang dimiliki bangsa Indonesia. "Keragaman yang kita punya tidak hanya soal suku bangsa dan sebagainya, tetapi juga warna politik. Dengan sistem proporsional berarti kita ingin agar suara masyarakat itu semakin banyak yang harus dikonversi menjadi 'kursi' dan tidak harus sia-sia," tutur Arwani.

Persoalannya, tambahnya, kalau parliamentary threshold dinaikkan, ada problem mendasar yaitu semakin banyak suara yang hilang dan tidak terkonversi menjadi kursi. "Artinya ada problem, dimana kalau kita naikan PT tersebut justru melahirkan disproporsionalitas. Alih-alih untuk menaikan kelas demokrasi kita, tetapi justru yang kita lihat adalah warna politik semakin mengecil dan menyempit. Hingga pada akhirnya dipaksa agar warna (partai) politik di Indonesia menjadi tidak banyak," tukasnya.

Menurutnya, dalam demokrasi, memilih sistem penyelenggaraan pemilu itu janganlah terpaku pada sistem negara lain, namun seharusnya mempunyai pilihan sendiri. "Tujuan pemilu itu finalnya bukanlah sekedar untuk terpilihnya Anggota DPR dan Presiden, karena hal itu hanya sasaran antara saja. Sedangkan sasaran finalnya adalah terpilihnya Anggota DPR dan Presiden yang mampu menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pancasila," pungkasnya.(dep/es/DPR/bh/sya)



 
   Berita Terkait >
 
 
 
ads1

  Berita Utama
Jokowi Akhirnya Laporkan soal Tudingan Ijazah Palsu ke Polisi, 5 Inisial Terlapor Disebut

Polri Ungkap 72 Kasus Destructive Fishing, Selamatkan Kerugian Negara Rp 49 Miliar

3 Anggota Polri Ditembak Oknum TNI AD di Way Kanan Lampung, Menko Polkam Minta Pelaku Dihukum Berat

Tolak Tawaran Jadi Duta Polri, Band Sukatani Akui Lagu "Bayar Bayar Bayar" Diintimidasi

 

ads2

  Berita Terkini
 
Jokowi Akhirnya Laporkan soal Tudingan Ijazah Palsu ke Polisi, 5 Inisial Terlapor Disebut

Polri Ungkap 72 Kasus Destructive Fishing, Selamatkan Kerugian Negara Rp 49 Miliar

3 Anggota Polri Ditembak Oknum TNI AD di Way Kanan Lampung, Menko Polkam Minta Pelaku Dihukum Berat

BNNP Kaltim Gagalkan Peredaran 1,5 Kg Sabu di Samarinda dan Balikpapan

Kasus Korupsi PT BKS, Kejati Kaltim Sita Rp2,5 Milyar dari Tersangka SR

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2