JAKARTA, Berita HUKUM - Sidang perdana kasus tindak pidana korupsi Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI) atas tersangka eks Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung digelar di Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta pada Senin (15/5). Adapun tersangka Syafruddin Temenggung untuk diadili dan kotak pandora awal mega skandal korupsi di Indonesia kasus BLBI pun diharapkan mulai terbuka perlahan-lahan.
Menurut pernyataan yang diutarakan Sekretaris Jenderal Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Keuangan Negara (Sekjen LPEKN), Harjuno Wiwoho bahwa, "Insya Allah, menurut KPK, Senin, 14 Mei 2018, tersangka BLBI Gate Dr. Syafruddin Temenggung akan diadili. Sidang penuntutan kasus SKL fiktif Rp 4,5 triliun untuk proyek tambak udang PT Dipasena, Grup Gajah Tunggal milik obligor BLBI (Syamsul Nursalim) mulai digelar," ujar Harjuno, melalui rilisnya.
Mudah-mudahan, sambungnya, "nahi munkar dapat berjalan lebih lancar dan mulai terbuka kotak pandora BLBI Gate awal atas penyalahgunaan wewenang oleh Tim KKSK (Komite Kebijakan Sektor Keuangan) dan BPPN, yang patut diduga juga terjadi pada obligor-obligor besar BLBI selain Syamsul Nursalim, yang wajib dituntaskan KPK pada tahun 2018," ungkap Harjuno.
"Yang tentu sesuai janji Resolusi KPK yang dengan segera akan menyeret para 'big fish' mafia keuangan negara ke meja hijau dengan tanpa pilih kasih," tandas Harjuno yang juga sebagai Sekretaris jenderal Gerakan Hidupkan Masyarakat Sejahtera (Sekjen HMS).
Sementara, Ketua Asosiasi Pembayar Pajak Indonesia (APPI), Sasmito Hadinegoro mengatakan bahwa, dengan disidangkannya Syafruddin Temenggung, kekhawatiran patut diduga akan melanda petinggi PDIP, Karena, menurutnya Syafruddin kemungkinan juga akan 'bernyanyi'.
"Kalau itu terjadi, maka PDIP akan seperti Partai Demokrat nyungsep. Jaksa kemungkinan akan menanyakan ke Syafruddin mengenai selisih SKL yang Rp 4,5 triliun itu," ungkapnya.
Kemudian, lanjut Sasmito, dalam audit terbaru BPK, KPK menyebut bahwa nilai kerugian keuangan negara dalam kasus ini menjadi 4,58 triliun rupiah.
"Nilai itu disebabkan Rp 1,1 triliun yang dinilai sustainable, kemudian dilelang dan didapatkan hanya Rp 220 miliar. Sisanya, Rp 4,58 triliun, menjadi kerugian negara," paparnya.
Sasmito pun mengkritik keras "teroris-teroris keuangan negara" seperti ia menuding Sri Mulyani, Boediono, Darmin Nasution yang seharusnya juga segera di meja hijaukan karena telah menyebabkan korban teror jutaan rakyat Indonesia. "Hampir 20 tahun sejak BLBI Gate dan Century Gate, rakyat terampas kesejahteraanya. Ini yang harusnya diviralkan pada seluruh rakyat Indonesia yang telah ngos-ngosan membayar pajak sampai dengan seribu triliun sekarang. Sebab, itu adalah amanah UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang harus transparan, akuntabel dan masyarakat berhak mengetahuinya," tandas Sasmito.
Ketua umum Gerakan HMS itu juga menyatakan, uang pajak tahun 2003 sampai dengan 2017 saja lebih dari 1 ribu triliun rupiah telah dibagikan untuk subsidi bunga obligasi rekap eks BLBI kepada bankir-bankir, kroni para pengemplang BLBI yang telah untung triliunan.
"Ironisnya, subsidi BBM, subsidi pangan, kesehatan, dan kebutuhan pokok rakyat dibatasi. Ingat, rezim SBY 2004-2014 menggelontorkan subsidi bunga obligasi rekap eks BLBI Rp 900 triliun selama 10 tahun," jelasnya.
Sasmito juga menambahkan bahwa, rezim Jokowi dengan pakain kasir/ bendahara umum negara yang sama yang bernama Dr. Sri Mulyani, yang jelas-jelas diduga kuat aktor utama bersama Dr. Boediono telah membobol kas negara 6,7 triliun rupiah saat mau Pilpres 2009, sekarang apakah patut diduga, maaf-maaf Sri Mulyani lagi akan ditugasi hal yang sejenis dengan kemungkinan ia diberi iming-iming gratifikasi RI-2 seperti Dr. Boediono, imbuhnya.
"Janganlah terus dibodohi Sri Mulyani lagi. Uang rakyat dikantongi/dikorupsi bersama-sama berjamaah seperti mega skandal Bank Pencuri abad ini (Bank Century)," tukasnya.
Sementara secara terpisah, ungkap Juru Bicara Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), Febri Diansyah mengemukakan, kasus tindak pidana korupsi Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI) atas tersangka eks Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung akan disidangkan.
"Senin, 14 Mei (2018) direncanakan persidangan kasus BLBI dengan tersangka Syafruddin Arsyad Temenggung," demikian ungkap Febri saat di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (11/5), pada wartawan.
Jelas Febri, jaksa penuntut sudah menyampaikan berkas dakwaan ke pengadilan. Dalam berkas itu dijelaskan mengenai peran Syafruddin dan pihak-pihak yang juga terkait dalam kasus ini.
"Ada sekitar 49 halaman yang menguraikan perbuatan terdakwa yang diduga merugikan keuangan negara. Kami akan uraikan bersama dengan siapa saja, ada pihak lain, ada pejabat atau pihak swasta lain yang akan diuraikan perannya dengan terdakwa akan buktikan satu per satu isi dari dakwaan itu," terang Febri.
Terkait pencegahan ke luar negeri terhadap saksi-saksi dinilai penting dalam kasus ini, ucap Febri, pihaknya akan membahas hal ini lebih jauh.
Febri berucap, sedianya seluruh saksi yang telah diperiksa dalam proses penyidikan dapat hadir memberikan keterangan di persidangan nanti.
"Kami akan ikuti aturan karena pencegahan ke luar negeri, sejauh yang kami pahami maksimal bisa diperpanjang satu kali. Tentu akan dibicarakan lebih lanjut," Febri menerangkan.
Kasus BLBI mencuat sejak Mei 2002 lalu. Saat itu, KPK mencium praktik korupsi dalam penerbitan SKL kepada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).
Menurut KPK, kewajiban Sjamsul yang harus diserahkan ke BPPN mencapai sebesar 4,8 triliun rupiah. Tetapi, Sjamsul baru membayarnya lewat penyerahan aset perusahan miliknya, Dipasena, yang nilainya hanya Rp 1,1 triliun.
Dalam hal ini, Sjamsul masih memiliki kewajiban Rp 3,7 triliun. Syafruddin Temenggung sendiri sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK sejak April lalu dan dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-udang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.(bh/mn) |