JAKARTA, Berita HUKUM - Direktur Eksekutif ETOS Institute Iskandarsyah menyebut, pihak legislatif dan eksekutif sudah "gelap mata". Pernyataan itu disampaikan Iskandarsyah lantaran tidak mendengarkan bahkan kedua lembaga tidak menanggapi permintaan sejumlah elemen dan berbagai kalangan masyarakat agar pelaksanaan Pilkada 2020 ditunda demi keselamatan rakyat dari ancaman kematian pada Pandemi Covid-19.
Menurut Iskandarsyah, penyebaran virus Corona semakin tajam apalagi Pilkada 2020 tetap dilaksanakan di tengah wabah covid-19 yang kian hari semakin memprihatinkan. Seolah-olah, sambung Iskandarsyah, legislatif dan eksekutif sudah satu suara tetap melaksanakan Pilkada walaupun ancaman nyawa rakyat didepan mata.
"Saya tak paham mau-nya pemerintah sekarang ini, semakin lama semakin ngawur. Sekolah-sekolah, kampus, kantor-kantor, mall ditutup sementara karena covid-19 ini, tapi Pilkada tetap lanjut, terlihat betul mereka haus dan "tamak kekuasaan"," beber Iskandarsyah, di bilangan Cibubur, Jakarta Timur, Rabu (23/9).
Iskandar menuturkan, berbagai kalangan telah mengingatkan agar Pilkada 2020 ditunda, namun tetap diabaikan. Kata dia, ini seperti bom waktu yang sengaja mereka buat untuk mereka sendiri.
"Pernyataan terbuka PB NU, PP Muhammadiyah, bahkan MUI pun tak dianggap, jadi mereka-mereka akan tahu resiko-nya. Bahkan pernyataan pak Jusuf Kalla yang juga mantan Wapres juga tak dianggap," cetusnya.
"Jadi pemerintah seolah sudah berhasil mengatasi wabah covid-19 ini, padahal kenyataannya terbalik, rakyat pergi (meninggal) sia-sia setiap harinya," lanjut Bang Is, sapaan akrab Iskandarsyah.
Ia pun mengaku sangat geram melihat sikap para calon peserta Pilkada yang terkesan memaksakan kehendak daripada mengutamakan keselamatan orang banyak.
"Kalau saya sebagai calon salah satu pilkada disitu saya akan mundur. Bagaimana calon bisa sosialisasi atau konsolidasi kalau semua lewat daring, tetap harus tatap muka lebih maksimal, terus dibatasi karena protokol kesehatan, lebih baik tidak usah, itu kalau saya loh. Tapi mereka-mereka ambisinya berbeda, karena tujuan memimpin bukan untuk kemajuan daerahnya, tapi justru memanfaatkan anggaran daerahnya, jadi tak perlu ditutup-tutupi lagi, rakyat sudah tahu semua mainan ini," terangnya.
"Buat saya, satu nyawa rakyat Indonesia lebih berharga ketimbang 100 nyawa elit," tandas Iskandar dengan nada keras.
Bang Is juga mengungkapkan, tidak elok jika ada pernyataan para anggota legislatif dan pemerintah soal contoh negara yang berhasil melakukan Pemilu ditengah pandemi covid-19, seperti Korea dan Singapura.
"Jangan banding-bandingkan negara ini dengan negara manapun, mereka negara kecil, mengatur warganya pun tak sulit, masyarakatnya tertib, pejabatnya jujur, jadi tak sulit berkolaborasi untuk itu semua," ujarnya.
"Kita negara besar, rakyatnya "ngeyel", sekalipun peraturan demi peraturan digulirkan, pejabatnya sibuk memperkaya diri, jadi jangan pernah membandingkan negara yang kaya raya ini dengan negara-negara kecil itu," tambahnya.
Selain itu, Iskandarsyah juga tak menipis ada anggapan bahwa pelaksanaan pilkada tetap berjalan karena ada putra dan menantu presiden Jokowi sebagai kontestan Pilkada.
"Mungkin!, kita tak pernah tahu isi hati manusia," kata Iskandar.
"Khawatir pilkada ditunda akan kalah pasti ada," tambah Iskandar.
"Jadi buat saya semua adalah rasa haus dan "tamaknya kekuasaan" sehingga menutup hati dan pikiran pemimpin-pemimpin bangsa ini," tutupnya.(bh/amp) |