JAKARTA, BeritaHUKUM - Gebrakan Indosiar dengan kesiapannya menayangkan The Voice Indonesia mengingatkan penulis akan pertarungan program yang beda tapi lumayan mirip di layar kaca beberapa waktu lalu. Di awal tahun 2000an misalnya, siapa tak lupa AFI produksi Indosiar yang muncul duluan sebelum akhirnya ditandingi oleh Indonesia Idol produksi RCTI. Tak ketinggalan format kontes nyanyi serupa lalu dimodifikasi oleh TPI ( sekarang MNCTV ) dengan menayangkan KDI alias Kontes Dangdut Indonesia.
Saat “The X-Factor” lagi ngetop2-nya di stasiun tv mancanegara, TransTV langsung tancap gas menggarap program yang sempat bahkan sering menjadi trending topic tiap hari sabtu malam waktu itu : Indonesia Mencari Bakat. Disusul dengan Indosiar yang mengejar dengan label program yang namanya mirip terjemahan saja dalam bahasa Inggris : Indonesia’s got talent.
Meroketnya popularitas hallyu yang merebak di kalangan remaja ini juga tak luput dari perhatian pengelola tv. Kali ini giliran SCTV yang bergerak cepat dengan membuat acara pencarian boyband dan girlband di layar kaca guna mengikuti trend yang dirintis oleh SM*SH dan Cherry Belle sekitar tahun 2011. Lagi2 Indosiar yang bisa dibilang sebagai stasiun “Home of K-Drama” merasa perlu pula membuat tayangan seputar anak muda yang kena demam K-Pop lewat program Galaxy Super Star.
Kesimpulan dari beberapa contoh program diatas, diantaranya yang bisa penulis ungkap disini adalah secara tak langsung terasa ada kebutuhan pengelola tv yang membutuhkan wajah2 baru di industri pertunjukkan layar kaca. Dan siklus perubahan tersebut ini kok terasa tidak “normal”. Stigma negatif adanya faktor “pengkarbitan” di acara kontes2 yang memaksakan lahirnya penyanyi berkualitas instan demikian masih kerap terdengar. Lihat saja berapa banyak pemenang kontes nyanyi yang tidak terdengar lagi gaung karyanya di blantika musik tanah air, beberapa diantaranya malah ada yang “selingkuh” ke dunia seni peran karena tidak mendapat materi lagu yang cocok. Secara industri tv mungkin tayangan begini menguntungkan, tapi bagi industri musik bisa dibilang hal ini nggak mendidik karena adanya proses “shortcut” tersebut.
Bercermin dari kesuksesan konser SM Town di Gelora Bung Karno beberapa pekan lalu, ah ternyata ada faktor penunjang lain yang juga cukup penting bagi kelanggengan eksistensi musisi di samping unsur talenta vokal, kualitas karya, dan penampilan di depan publik, yakni : profesionalitas manajemen artis. Lha, terus peran label rekaman yang dulu bisa menjadi “penentu selera dengaran penikmat musik” sekarang ini ada dimana ? (bhc/him/rat)
|