KENDARI, Berita HUKUM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan terobosan penting dalam upaya pemberatasan korupsi pengelolaan sumber daya alam di Indonesia khususnya di sektor pertambangan dengan membentuk nota kesepemahaman bersama (NKB) dengan 12 Kementerian dan Lembaga Negara. Kami memberikan apresiasi atas langkah yang telah ditempuh oleh KPK dan komitmen Kementerian dan Lembaga Negara tersebut.
Pada pertemuan yang dilaksanakan oleh KPK pada tanggal 10 – 12 November 2014 di Jakarta untuk mengevaluasi rencana aksi pada masing-masing Kementerian dan Lembaga Negara, kami WALHI se-region Sulawesi menilai ada beberapa hal penting yang menjadi perhatian kami di WALHI se-region Sulawesi.
Asmar Exwar, Direktur WALHI Sulsel mengatakan “upaya yang telah dilakukan oleh KPK ini, mestinya ditindaklanjuti dengan ketaatan pemerintah baik di pusat maupun daerah untuk moratorium ijin-ijin baru, sembari melakukan evaluasi atas ijin-ijin yang sedang berjalan”.
Direktur WALHI Sulawesi Tenggara, Kisran Makati mendorong, “agar inisiatif KPK dalam membuat koordinasi dan supervisi di sektor pertambangan juga diikuti dengan mendorong koordinasi dan supervisi di sektor perkebunan”. Urgensi atas hal ini mengingat banyak kerugian Negara yang ditimbulkan oleh perkebunan sawit melalui manipulasi dengan berbagai modus. Selain kerugian Negara dari manipulasi pajak yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan sawit, juga banyak kebun-kebun sawit yang masuk di wilayah kawasan hutan dan wilayah kelola rakyat yang itu bertentangan dengan Peraturan dan Perundang-Undangan.
Data KPK menyebutkan ada 1560 jumlah IUP di Sulawesi, dan hasil rekap korsup yang dilakukan oleh KPK, di Sulawesi Selatan yang mendapatkan rekomendasi clean and clear dari Pemerintah Sulsel, hanya 33 IUP dari 414 IUP yang ada di Sulsel. Ini menunjukkan lemahnya komitmen Gubernur dalam upaya pemberantasan korupsi di sektor pertambangan. Sementara dari 443 IUP di Sulawesi Tengah, baru 85 IUP yang dicabut. Di Sulawesi Tenggara, KPK menyebutkan ada 498 IUP dengan kategori clean and clear sebanyak 314 dan non CC sebanyak 184, dan ijin yang dicabut hanya 13 IUP dan itupun hanya di Kabupaten Kolaka Utara.
“Yang juga penting untuk dilakukan kedepan adalah bagaimana pencabutan ijin terhadap perusahaan dibarengi dengan tindakan hukum kepada perusahaan yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap perundang-undangan, merugikan Negara dan merusak lingkungan hidup”, tegas Ahmad Pelor, Direktur WALHI Sulawesi Tengah.
Nur Hidayati, Kepala Departemen Advokasi Eksekutif Nasional WALHI menyatakan, “Pencabutan ijin tersebut harusnya tidak mengurangi kewajiban korporasi untuk melakukan pemulihan kerusakan lingkungan hidup yang ditimbulkan akibat kegiatan usahanya”. Selain kerugian Negara yang dihitung akibat kerusakan lingkungan juga harus dihitung sebagai kerugian Negara. Kerugian lingkungan dengan menggunakan nilai atau valuasi ekonomi.
Ivan Korompis dari WALHI Sulawesi Utara menambahkan, “belajar dari kasus pertambangan bijih besi di Pulau Bangka Sulut, mestinya KPK tidak hanya melihat clean and clear IUP hanya dari administrasi saja, tetapi juga memasukkan item pelibatan partisipasi warga dalam penetapan wilayah pertambangan sebagai kewajiban yang harus dipatuhi oleh korporasi”.
Selama ini kita ketahui bahwa hampir tidak ada partisipasi warga dalam setiap pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, termasuk dalam proses pengukuhan kawasan hutan. “Karenanya, partispasi rakyat menjadi penting, khususnya masyarakat adat dalam proses pengukuhan kawasan hutan. Ini menjadi bagian penting dalam upaya penyelesaian konflik agraria di sektor kehutanan”, Ikhsan Welly, terang Direktur WALHI Sulbar.
Langkah yang telah dilakukan oleh KPK mestinya dapat dilihat sebagai langkah bagi institusi Negara lainnya, termasuk Kepala Daerah di Sulawesi untuk melakukan reformasi tata kelola sumber daya alam, serta melihat ini sebagai urgensi ditengah tingkat kerusakan lingkungan hidup telah mengancam dan menghancurkan wilayah kelola rakyat.
Karenanya, pada Pertemuan WALHI se-Region Sulawesi yang dilaksanakan di Kendari pada tanggal 25-28 November 2014 ada beberapa hal untuk menjawab problem pokok dalam pengelolaan sumber daya alam dan perlindungan lingkungan hidup di Sulawesi. Percepatan pemulihan lingkungan hidup di Sulawesi mendesak untuk dilakukan, antara lain dengan melakukan audit lingkungan hidup untuk menghitung daya dukung dan daya tampung lingkungan sebagai bagian dari kajian lingkungan hidup strategis.
WALHI se-region Sulawesi juga memandang bahwa tahun 2015 sebagai tahun politik dan momentum politik untuk menjadikan isu lingkungan hidup sebagai isu sentral dan strategis yang menentukan nasib keberlanjutan pengelolaan kekayaan alam yang berkeadilan baik bagi rakyat maupun lingkungan hidup, dengan mendorong pengakuan Negara untuk melindungi wilayah kelola rakyat yang selama ini telah menjadi sumber kehidupan bagi rakyat.(wlh/bhc/sya) |