MEDAN, Berita HUKUM – Kasus traficking, menimpa kaum wanita yang rencananya hendak di pekerjakan di Medan, melalui biro tenaga kerja. Mereka dipelakukan semena - mena dan medapat perlakuan yang kurang manusiawi.
Lima perempuan asal Jawa yang rencananya akan dipekerjakan sebagai penjaga toko, salon, atau pembantu rumah tangga (PRT), melarikan diri dari penampungan milik CV Maju Jaya di Jalan Angsa, Simpang Jalan Beo No.17, Kecamatan Medan Timur, sebagaimana yang dilansir Kompas.com, Selasa (23/9).
Masing - masing korban menuturkan, Novi, Wati, dan Rohayati, berangkat dari kampungnya ke Jakarta pada 15 September 2012, sekira pukul 15.00 WIB, di antar Teh Lia ke Yayasan Iara Surya Mandiri. Menyusul Rumsanah dan Fitri pada hari yang sama. Mereka diterima oleh Yanto, dengan dijanjikan bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT) di Jakarta bergaji sebesar Rp 700.000 hingga Rp 800.000 per bulannya.
Keesokan harinya, tepatnya 16 September 2012 menjelang tengah hari, Haji Syamsul dan istrinya, Randika datang ke yayasan dan mengajak sembilan orang perempuan untuk bekerja di toko pakaian miliknya di Kota Medan, dengan iming - iming gaji Rp 1 juta per bulan tanpa potongan apa pun. Mereka pun menyetujui lalu menandatangani kontrak kerja selama setahun di saksikan Yanto.
Dengan pesawat Batavia air, mereka semua meninggalkan Jakarta. Sampai di Bandara Polonia Medan, mereka di jemput anak Syamsul dan langsung di bawa ke Jalan Angsa Simpang Beo No.17 Medan.
Sampai dirumah yang juga menjadi kantor CV Maju Jaya, mereka bertemu dengan Soni anak perempuan Syamsul dan Eko Purnomo selaku manager lapangan. Soni menyuruh Eko menyita semua barang - barang bawaan korban, seperti KTP, surat jalan, HP, uang, perhiasan yang dikenakan. Semua barang ditaruh dalam plastik dan diberi label nama masing - masing pemilik, kemudian disimpan di kamar Randika.
Kemudian, para korban kembali disuruh menandatangani kontrak kerja tanpa diberi kesempatan untuk membaca isinya. Masing - masing diberi tiga pasang pakaian, lalu bergabung dengan delapan orang lain yang sudah ada sebelumnya, menempati ruang seukuran 2 x 4 meter, tepat dibawah tangga menuju lantai dua rumah tersebut.
"Kami diberi matras sebagai alas tidur, 10 orang harus tidur bersempit - sempitan. Tujuh orang lain, terpaksa memilih tidur di lorong lantai atas", kata Novi menunduk, Kamis (27/9).
Beberapa hari kemudian, semua korban diberi penjelasan oleh Eko bahwa kontrak kerja selama dua tahun, apabila tidak menyelesaikan sebelum waktu yang ditentukan maka gaji akan diambil oleh Syamsul. Sabtu (22/9), Novi dan Rohayati saat sedang menggosok pakaian dipanggil Soni dan disuruh menghadap kedua orang tuanya. Kedua korban ditanyai tentang rencana melarikan diri.
"Kalau kalian mau kabur, saya tembak. Saya tampar, pijak - pijak. Sampai lobang semut pun kalian akan saya temukan", ancam Randika.
Mendengar ucapan tersebut, Novi langsung pingsan dan Rohayati memilih melarikan diri kembali lantai dua. Esoknya, Minggu (23/9) dini hari, kelima korban dibantu Eko dengan menggunakan seutas tali nilon keluar dari rumah Syamsul yang berpagar terali dan bergembok puluhan unit itu. Mereka memutuskan meminta perlindungan ke Polresta Medan.
Para korban yang diwakili Sa'diah melaporkan soal perbuatan tidak menyenangkan dan ancaman dengan kekerasan yang dilakukan Randika selama di penampungan. Ironisnya, keesokan harinya Kanit Reskrim Polsek Medan Timur datang ke UPPA Polresta Medan dan mengatakan kalau Syamsul telah membuat laporan pengaduan kehilangan uang sebesar Rp 40 juta serta sejumlah berlian dan menuduh Eko sebagai pelakunya.
Saat itu juga, Kanit Reskrim tersebut melakukan penggeledahan terhadap tas dan tubuh Eko, namun tidak di temukan apa - apa. Sore harinya, Kanit UPPA Polresta Medan bersama dengan beberapa anggota dan salah seorang korban melakukan cek TKP ke CV Maju Jaya. Tim bertemu dengan Syamsul dan beberapa orang kepercayaannya. Dia tidak memperkenankan polisi masuk ke dalam rumah, bahkan mengeluarkan kata - kata kotor yang melecehkan institusi Polri.
Selasa (25/9), Pusaka Indonesia bersama staf dari Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu, bertemu dengan Wakapolresta Medan untuk memohon agar segera melakukan penyelamatan terhadap sembilan korban yang saat ini masih tertinggal.
Mereka adalah: Karsiti (28), asal Brebes, kondisi stress, kurang pendengaran, dan sering tertawa sendiri. Nurul (23) warga Jawa Tengah, kondisi mengalami memar di bagian paha dan susah berdiri. Duna (40), Sakti (22) asal Jakarta, kondisi patah hidung, telinga luka karena sering dipukul Randika. Kemudian, Tarmidah (50) dan Lastri (30) asal Jawa Tengah, Sarwinah (20) asal Lampung, Nazilatul Likmatul Husnah (19) warga Brebes, dan Sumiyati (35) asal Jawa Tengah.
Mitra Lubis dari Pusaka Indonesia mengatakan, hambatan datang dari pihak Syamsul yang tidak koorporatif. Saat itu, Wakapolres Medan langsung memerintahkan Kanit PPA Polresta Medan untuk membuat surat perintah agar diturunkan tim yang lebih besar ke TKP guna penyelamatan. " Tapi hingga sore ini, Sprin masih belum di tanda - tangani", katanya.
Dijelaskannya, Rabu (26/9) sore, dirinya bersama perwakilan Yayasan Iara Surya Mandiri, tim dari Biro PP Provsu, dan beberapa wartawan menunggu di depan masjid yang ada di simpang Jalan Angsa, karena mendapat informasi tim Polres Medan akan segera turun untuk menyelamatkan korban yang tertinggal.
Sekitar pukul 20.00 WIB, tim bersama dengan Hendrik (anggota Polres) bergerak ke lokasi. Syamsul menolak untuk bertemu dan berbicara dengan pihak yayasan dari Jakarta. "Aku diizinkan masuk sampai teras, tapi saat dia menanyakan surat penggeledahan yang ternyata tidak disiapkan polisi, usaha penyelamatan malam itu gagal", sesalnya.(bhc/kcm/rt)
|