JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Acara doa dan puasa bersama lintas agama masih berlangsung. Jumat (16/9) ini, merupakan hari terakhir aksi tersebut. Menjelang berakhirnya acara tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengundang para tokoh yang terlibat dalam aksi itu untuk berkunjung ke Istana Negara.
Namun, para tokoh agama dari Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu yang menggelar doa bersama di dekat Istana Negara menolak undangan dari Presiden SBY itu. Mereka mengaku hanya datang ke dekat Istana Negara itu, hanya untuk menggelar doa bersama dan berpuasa untuk membersihkan Bumi Pertiwi dari segala penyakit akut yang membuat bangsa dan negara ini terus terpuruk kembali.
Selama tiga hari mulai dari Rabu (14/9) lalu, hanya untuk melakukan kegiatan doa dan puasa bersama. Atasa dasar ini, mereka merasa bertemu dengan Presiden SBY bukanlah hal yang penting. Menurut mereka, ketimbang mengundangnya untuk bertemu, sebaiknya Presiden SBY segera mengambil langkah konkret untuk membersihkan Indonesia dengan memberantas korupsi yang merugikan bangsa dan negara.
Dalam kesempatan terpisah, pengamat LIPI Ikrar Nusa Bakti menyatakan, penegakan hukum pemerintahan SBY-Boediono masih perlu dikritisi, khususnya yang terkait dengan korupsi. Penegakan hukum saat ini masih jalan di tempat, alias tebang pilih.
Dia menambahkan, penilaian tebang pilih tersebut terkait dengan kasus Nazaruddin dan politisi Partai Demokrat lainnya. SBY berupaya agar politisi Demokrat lainnya tidak tersentuh. "Karena itu akan dapat merusak citra dari Partai Demokrat," tandasnya.
Meski demikian, Ikrar mengakui, untuk bidang ekonomi, pemerintahan SBY-Boediono patut mendapat apresiasi. "Ada teman saya, profesor dari Jepang, yang mengakui bahwa perekonomian Jepang saat ini lebih buruk dari Indonesia," ujarnya.
Keberhasilan pemerintahan SBY-Boediono di antaranya adalah devisa negara Indonesia yang cukup besar dan bahkan terbesar sepanjang sejarah dan perekonomian Indonesia diakui sebagai salah satu yang terbaik di Asia. (mic/irm)
|