JAKARTA, Berita HUKUM - Seorang PNS Pertanahan di Kabupaten Kutai Timur Ricky Elviandi Afrizal mengajukan pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Sidang perdana perkara yang teregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 134/PUU-XII/2014 ini digelar Mahkamah Konstitusi pada Selasa (16/12) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam pokok permohonannya, Ricky yang hadir melalui fasilitas video conference MK di Universitas Mulawarman, Kalimantan Timur, menjelaskan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 21 huruf a UU ASN. Pasal 7 (1) UU ASN menyatakan “PNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a merupakan Pegawai ASN yang diangkat sebagai pegawai tetap oleh Pejabat Pembina Kepegawaian dan memiliki nomor induk pegawai secara nasional”. Sementara Pasal 21 huruf (a) UU ASN menyatakan “PNS berhak memperoleh a. gaji, tunjangan, dan fasilitas”.
Pemohon yang sebelumnya menjabat sebagai Pj. Kepala Seksi Pengendalian dan Pemberdayaan pada Kantor Pertanahan Kabupaten Kutai Timur, merasa dengan adanya ketentuan UU Aparatur Sipil Negara tersebut mengakibatkan terjadinya pelanggaran terhadap hak asasi pegawai negeri sipil pemohon.
“Penghapusan, peniadaan, dan menyimpangkan masa pemberlakuan status dan hak PNS serta adanya suatu pernyataan yang berpotensi menjadi fakta hukum, telah melanggar prinsip keadilan, persamaan dalam hukum, dan pemerintahan. Padahal kepala BPN RI tidak pernah mengeluarkan surat keputusannya tentang pemberhentian Pemohon sebagai PNS, PJ kepala seksi pengendalian dan pemberdayaan pada kantor Pertanahan Kabupaten Kutai Timur,” paparnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Muhammad Alim.
Untuk itulah, dalam petitumnya, Pemohon yang mengajukan permohonan tanpa diwakili oleh kuasa hukum meminta agar Majelis Hakim MK menyatakan UU ASN, yakni Pasal 7 ayat (1) khususnya frasa yang berbunyi PNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a merupakan pegawai ASN yang memiliki nomor induk pegawai secara nasional dan Pasal 21 huruf a khususnya frasa yang berbunyi PNS berhak memperoleh gaji/tunjangan adalah konstitusional sepanjang diartikan termasuk juga mencakup nomor induk pegawai milik Pemohon.
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Muhammad Alim memberikan sejumlah saran perbaikan, di antaranya meminta Pemohon untuk mencermati cacat yang terkandung dalam pasal yang diuji. Selain itu, Alim menjelaskan bahwa pemohon telah mengajukan permohonan pada 2012 yang kemudian ditolak MK, karena bukan merupakan kewenangan yang dimiliki MK. “Di dalam menguji undang-undang di Mahkamah Konstitusi itu kita hanya menguji norma, kita tidak menguji kasus konkret, jadi ada pemecatan atau pemberhentian itu bukan urusan Mahkamah Konstitusi, itu adalah urusan mungkin Pengadilan Tata Usaha Negara atau yang berkaitan dengan kepegawaian itu, jadi itu tidak merupakan wewenang Mahkamah Konstitusi,” papar Alim.
Sementara Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi meminta agar pemohon mengubah petitumnya, karena petitum dalam permohonan di MK tidak dapat memerintahkan untuk menunjuk kembali Pemohon menjadi sebagai PNS. “Pengadilan norma itu putusannya ya, menyatakan Pasal 7 ayat (1) bertentangan secara bersyarat kalau tidak dimaknai seperti apa, begitu. Tidak menunjuk Ricky Elviandi Afrizal dan seterusnya. Ini kalau putusan pengadilan kasus, ini pengadilan norma, bukan pengadilan kasus,” tandasnya.(Lulu Anjarsari/mk/bhc/sya) |