JAKARTA, Berita HUKUM - Dewan Perwakilan Daerah mengatakan bahwa Undang - undang No. 27 / 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3), dan Undang - Undang No. 12 / 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang - Undangan (P3) bertentangan dengan Pasal 20 Ayat (2) dan Pasal 22D Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945 yang memberikan kewenangan konstitusional kepada DPD untuk mengajukan rancangan undang - undang.
Demikian disampaikan oleh DPD RI selaku Pemohon dalam sidang pendahuluan pengujian Undang-Undang Nomor 92 / PUU - X / 2012 di Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (24/9). “UU MD3 dan UU P3 telah melemahkan eksistensi Pemohon, karena telah mengebiri fungsi legislasi Pemohon menjadi tidak berarti”, tegas DPD dalam permohonannya.
DPD dalam perkara ini secara simbolis diwakili Ketua DPD Irman Gusman, Wakil Ketua DPD La Ode Ida, dan Wakil Ketua DPD Gusti Kanjeng Ratu Hemas mengujikan pasal-pasal yang ada dalam UU MD3 dan UU P3 ke MK. Diantaranya, Pasal 71 huruf a, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g, Pasal 102 ayat (1) huruf d dan huruf e, Pasal 107 ayat (1) huruf c, Pasal 143 ayat (5), Pasal 144, Pasal 146 ayat (1), Pasal 147 ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (7), Pasal 150 ayat (3), ayat (4) huruf a, dan ayat (5), Pasal 151 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 154 ayat (5) dalam UU MD3 No. 27/2009 terhadap UUD 1945.
Kemudian, DPD juga mengujikan Pasal 18 huruf g, Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 22 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), Pasal 43 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 46 ayat (1), Pasal 48 ayat (2) dan (4), Pasal 65 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 68 ayat (2) huruf c dan huruf d, Pasal 68 ayat (3), ayat (4) huruf a, dan ayat (5), Pasal 69 ayat (1) huruf a dan huruf b, dan ayat (3), Pasal 70 ayat (1) dan ayat (2) UU P3 No. 12 / 2011 terhadap UUD 1945.
Derita Konstitusional
Dengan adanya pasal-pasal tersebut, Pemohon merasa dirugikan karena salah satunya tidak dilibatkan dalam proses persetujuan Rancangan Undang - Undang (RUU). “DPD hanya bisa mengajukan rancangan undang - undang, namun tidak ikut membahas, dan tidak ikut memberikan persetujuan”, terang kuasa hukum Pemohon Todung Mulya Lubis. “Ini kan sudah merupakan kerugian konstitusional yang dialami oleh DPD”, tambahnya.
Selanjutnya, Pemohon juga beralasan ketentuan - ketentuan dalam UU MD3 dan UU P3 masih secara sumir mengatur bagaimana hubungan kerja antara DPR dan DPD, baik dalam penyusunan RUU maupun dalam pembahasan RUU, serta pelaksanaan tugas dan kewenangan yang lainnya. Semisal, Pasal 147 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) UU MD3, memberikan derita konstitusional yang luar biasa kepada DPD.
Pasal tersebut, kata Pemohon, mengatur bahwa apabila telah disetujui oleh rapat paripurna, maka RUU yang berasal dari DPD akan menjadi RUU usul dari DPR.
Padahal, Pasal 22D ayat (1) UUD 1945 secara jelas DPD mempunyai kewenangan untuk mengajukan RUU kepada DPR sesuai dengan kewenangan Pemohon. “Dengan demikian sudah seharusnya usul RUU tersebut tetap menjadi usul dari Pemohon, tidak menjadi usul dari DPR”, terang DPD dalam permohonanya.
Penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang dimaksudkan dalam Pasal 18 huruf g dan Pasal 20 ayat (1) UU P3 juga diujikan oleh DPD ke MK, Menurut Pemohon, DPD tidak diikutsertakan dalam penyusunan RUU tersebut. “Pada tingkat penyusunan RUU, keberadaan Pemohon dinafikan begitu saja dengan adanya pengaturan UU P3 [Pasal 18 huruf g dan Pasal 20 ayat (1)”, terang Pemohon. “Ketentuan tersebut telah mengurangi kewenangan Pemohon untuk terlibat dalam penyusunan Prolegnas”, kata DPD.
Kewenangan “dibonsai”
Apabila ditinjau dari aspek yuridis konstitusional, kata Pemohon, keberadaan Pemohon sebagai lembaga negara yang sejajar dengan DPR, MPR, Presiden, MA, MK, dan BPK. Namun, katanya, kesejajaran dalam struktur ketatanegaraan tersebut tidak diimbangi dengan kejajaran fungsi dan kewenangan. “Kewenangan Pemohon tidak hanya ‘dibonsai’ tapi juga dimarjinalkan secara fungsional dan kelembagaan”, terang DPD.
Disamping itu, secara kelembagaan, kedudukan Pemohon hanya disetarakan dengan alat perlengkapan DPR yang fungsinya sebagai bahan pertimbangan dalam pembentukan undang-undang. Hal demikian ini tentu tidak sesuai dengan jiwa dan semangat dari perubahan UUD 1945 yang bermaksud untuk menciptakan proses checks and balances dalam pembentukan undang-undang melalui sistem bikameral.
Oleh karena dalam petitumnya, DPD dalam salah satu permohonannya menyatakan frasa “atau DPD” dalam Pasal 102 ayat (1) huruf d dan e dan Pasal 147 ayat (1), ayat (3) dan ayat (4) UU No. 27/2009 tentang MD3 bertentangan dengan Pasal 22D Ayat (1) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat.(mk/bhc/opn) |