JAKARTA, Berita HUKUM - Proses rekrutmen hakim dan pimpinan komisi negara independen sulit diamati. Tidak hanya melalui proses yang tak tampak, tetapi juga melalui proses yang ada di balik layar. Kepentingan politik mendominasi sebagian besar proses di balik layar tersebut, sama halnya dengan seleksi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun Komisi Yudisial (KY) di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), juga didominasi oleh kepentingan politik yang sulit untuk diawasi secara terbuka.
Hal tersebut disampaikan Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang Saldi Isra saat memberikan keterangan ahli dalam pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang KY dan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK melalui video conference di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Selasa (6/5). “Untuk menjaga kemandirian dan independensi dua komisi negara tersebut salah satunya adalah mengubah pola rekrutmen kekuasaan lembaga dari kekuasaan politik, dalam hal ini presiden dan DPR harus dibatasi, sehingga ruang intervensi terhadap proses pengisian jabatan yang ada dapat ditekan semaksimal mungkin,” ujarnya.
Pada saat bersamaan, ketika membatasi wewenang lembaga politik, pola rekrutmen dengan melibatkan pihak nonpartisan dan profesional dibuka secara lebih luas seperti yang diperlihatkan dalam proses pengisian hakim konstitusi yang berasal dari DPR beberapa bulan yang lalu.
Sehubungan dengan itu, imbuh Saldi, kekuasaan presiden dalam pengisian jabatan pimpinan KY dan KPK telah dikurangi dan sebagiannya diserahkan kepada panitia seleksi yang diisi oleh unsur pemerintah, praktisi hukum, akademisi hukum, dan masyarakat. Dalam hal ini kekuasaan presiden untuk memilih komisioner KY dan KPK telah dilimpahkan kepada panitia yang dibentuk secara terpisah dari eksekutif. Artinya, presiden tidak lagi terlibat secara langsung dalam proses menentukan siapa yang akan menjadi pimpinan KPK maupun anggota Komisi Yudisial. Di lain pihak, DPR tetap memiliki kekuasaan yang cukup besar dalam menentukan pimpinan KY dan KPK, dimana DPR berwenang memilih satu dari dua atau tiga nama yang diajukan panitia seleksi.
Dari aspek perimbangan kekuasaan presiden dan DPR dalam memilih pimpinan KPK dan KY, menurut Saldi, kekuasaan keduanya sudah tidak imbang. Sebab kekuasaan presiden sudah dilimpahkan kepada panitia seleksi sehingga mempersempit ruang intervensi presiden terhadap siapa yang akan menjadi pimpinan komisioner KY dan KPK. Sedangkan DPR melalui ketentuan undang-undang tetap menjadi pemegang kendali untuk memilih dan menetapkan siapa orang yang akan menjadi pimpinan atau komisioner KPK dan KY. “Jika keseimbangan kekuasaan presiden dan DPR ingin dikembalikan, maka sebagian kekuasaan DPR dalam memilih dan menetapkan pimpinan atau komisioner KPK dan KY juga harus dikurangi,” tegas Saldi.
Dalam hal ini DPR tidak perlu lagi diberi kewenangan untuk memilih, melainkan cukup untuk menyetujui atau tidak menyetujui. Pada saat bersamaan memilih melalui proses seleksi, termasuk fit dan proper test cukup diserahkan kepada panitia seleksi yang diisi oleh kelompok profesional dan perwakilan masyarakat. Proses yang demikian tentunya akan lebih mempersempit ruang intervensi politik yang dapat mengancam kemandirian atau independensi dua komisi negara independen tersebut.
Tidak Perlu ke DPR
Sementara, guru besar Ilmu Administrasi Negara Universitas Gadjah Mada Miftah Thoha mengatakan, reformasi birokrasi luput untuk memberi perhatian dalam menata tata hubungan yang demokratis dengan kedatangan orang-orang partai politik di sistem birokrasi pemerintah. Jabatan negara, jabatan politik, dan jabatan karier sampai saat ini di dalam sistem administrasi negara tidak pernah diklasifikasikan secara tuntas sehingga tata hubungan antara ketiganya tidak jelas.
Pejabat negara yang berasal dari partai politik dan dipilih rakyat, warna politiknya sangat kuat. Dengan demikian, Miftah berpendapat pengangkatan anggota KPK, hakim konstitusi, bahkan hakim di Mahkamah Agung, Panglima TNI, dan Kapolri tidak perlu lagi dimintakan political approval atau uji kelayakan ke lembaga politik DPR. “Pengangkatannya para pejabat negara tersebut cukup berada di wilayah ranah kekuasaan presiden sebagai kepala negara supaya tidak diintervensi kepentingan politik dari anggota partai politik DPR,” ujarnya.
Sebelumnya, akademisi Universitas Islam Indonesia Yogyakarta menilai kewenangan DPR yang dapat memilih calon anggota KY dan KPK kebablasan. Adanya kewenangan itu, dianggap dapat memengaruhi independensi dua lembaga hukum tersebut. Pemohon yang diwakili kuasa hukumnya Zairin Harahap menilai Pasal 28 ayat (6), Pasal 28 ayat (3) huruf c, dan Pasal 37 ayat (1) UU KY dan Pasal 30 ayat (1), ayat (10), dan ayat (11) UU KPK bertentangan dengan UUD 1945.
“Keterlibatan DPR dalam menetukan calon anggota KY dan calon anggota KPK sebagaimana yang diatur dalam pasal-pasal a quo sangat bertentangan dengan tujuan pembentukan KY dan KPK sebagai lembaga negara yang independen. Oleh karena itu, Pemohon menganggap pasal-pasal a quo telah menimbulkan kerugian hak konstitusionalnya Yang Mulia,” kata Zairin saat membacakan permohonannya dalam sidang perdana Perkara Nomor 16/PUU-XII/2014, Selasa (11/3).
Kewenangan konstitusional DPR dalam rekrutmen anggota KY hanya bersifat ‘persetujuan’ bukan untuk ‘memilih’. Sehingga, frasa ‘memilih dan menetapkan’ pada Pasal 28 ayat (6) UU KY bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 24B ayat (3). Pun halnya dengan frasa ‘memilih dan menetapkan’ pada Pasal 30 ayat (10) dan ayat (11) UU KPK yang bertentangan dengan UU MD3 sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.(Lulu Hanifah/mh/mk/bhc/sya) |