JAKARTA, Berita HUKUM - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang kedua perkara Pengujian Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian yang dimohonkan oleh empat orang pemegang polis asuransi jiwa bersama Bumiputera 1912, yaitu Jaka Irwanta, Siti Rohmah, Freddy Gurning, dan Yana Permadiana, Senin (22/4). Sidang kali ini beragendakan mendengar perbaikan permohonan Pemohon.
Kuasa Hukum Pemohon, Zairin Harahap mengatakan telah melakukan beberapa perbaikan dalam permohonan yang diajukan kliennya. Perbaikannya antara lain pada batu uji yang digunakan. Bila pada awalnya menggunakan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 sebagai batu uji, sekarang Para Pemohon menggantinya dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Kemudian, Zairin menyampaikan bahwa pihaknya tidak bisa mengubah status usaha bersama. Zairin mengatakan, sesuai aspek filosofis pendirian usaha bersama mutual AJB Bumi Putera 1912 berbeda dengan perusahaan terbatas pada umumnya karena usaha bersama mutual didirikan adalah untuk kesejahteraan para anggotanya, pemegang polis. Hal ini merupakan penjabaran atau implementasi dari ketentuan Pasal 33 ayat (1) UU 1945. Sementara, lanjut Zairin, Perseroan Terbatas adalah untuk keuntungan para pemodal atau pemegang saham saja. “Dalam PT pemegang polis bukanlah pemilik melainkan semacam nasabah atau konsumen yang hanya mempunyai hak atas klaim. Jadi secara filosofis sangat berbeda kalau dia mau dijadikan PT,” jelas Zairin.
Zairin mengataka Pasal 7 ayat (3) yang diminta dinyatakan inkonstusional sepanjang tidak dimaknai mencantumkan batas waktu penetapan undang-undang tersebut oleh Pemohon karena dirinya melihat pasal tersebut tidak mencantumkan batas waktu undang-undang. Zairin menambahkan argumentasi pada permohonannya tersebut bahwa pada UU No. 12 Tahun 2011 memang juga mengharuskan setiap suatu peraturan perundang-undangan itu harus mencantumkan suatu peraturan pelaksananya.
“Kemudian juga di sini kami mengatakan bahwa dapat dikatakan bahwa selama 21 tahun ini, itu sesungguhnya sudah terjadi kekosongan hukum terkait dengan usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama, meskipun pemerintah mengeluarkan aturan perundang-undangan yang terakhir diatur dengan PMK Nomor 53/PMK/2012. Saya kira ini terkait dengan masukkan dari Majelis pada sidang yang pertama yang mengatakan bahwa untuk memahami secara utuh ketentuan Pasal 7 ayat (3) ini juga harus dibaca penjelasannya. Di sana disebutkan bahwa sementara sebelum ada undang-undangnya maka dikeluarkannya PP terlebih dahulu. Tapi sampai saat ini PP-nya juga belum ada. Bahkan, yang dikeluarkan adalah PMK (Peraturan Menteri Keuangan) Nomor 53 Tahun 2012. Saya kira ini adalah yang mencabut PMK-PMK sebelumnya, jadi terakhir berdasarkan ini, Yang Mulia,” papar Zairin kembali menjelaskan alasan permohonan Pemohon.
Ketua Panel Hakim Maria Farida Indrati pada kesempatan terakhir sidang kali ini mengesahkan lima alat bukti yang diajukan Pemohon. Selain itu, Maria mengatakan akan membawa hasil sidang perkara ini ke Rapat Permusyawaratan Hakim untuk didiskusikan lebih lanjut. “Saya akan mengajukan permohonan Anda di dalam rapat permusyawaratan hakim ya. Sesudah ini maka kemudian saya akan menjelaskan bagaimana kedudukan permohonan ini kepada rapat permusyawaratan hakim dan nanti akan ditentukan bagaimana kelajutan dari permohonan ini. Oleh karena itu, nanti Bapak-Bapak menunggu putusan dari Mahkamah Konstitusi dan akan diberitahukan sesudah ini. Nanti Bapak dan Ibu tinggal menunggu panggilan dari MK apakah ini dilanjutkan sampai Putusan Pleno atau tidak,” tukas Maria sembari menutup sidang.
Pemohon teregistrasi nomor 32/PUU-XI/2013 ini sebelumnya mempermasalahkan materi Pasal 7 ayat (3) UU Usaha Perasuransian yang berbunyi, “Ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (mutual) diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang.” Ketentuan tersebut menimbulkan kerugian bagi Para Pemohon karena UU dimaksud belum diterbitkan, menimbulkan diskriminasi kepada Para Pemohon sebagai pemegang polis pada Badan Hukum Usaha Bersama (mutual), karena badan usaha lain sudah memiliki undang-undang khusus. Kerugian nyata lain yaitu adanya kesulitan memiliki kesempatan mengikuti tender barang dan jasa. Sebab, untuk mengikuti tender diperlukan status berbadan hukum. Para Pemohon menuntut agar Pasal UU tersebut inkonstitusional, sepanjang tidak dimaknai: “diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang paling lambat 1 (satu) tahun” terhitung sejak Putusan MK atas permohonan perkara ini dan tuntutan lain.(yna/mk/bhc/rby) |