JAKARTA, Berita HUKUM - Bertempat di kantor WALHI Nasional jalan tegal parang utara Jakarta Selatan, perwakilan warga dari beberapa desa komunitas yang hidup di atas permukaan air rawa Hulu Sungai Utara (HSU) Kalimantan Selatan, Haji Karani didampingi oleh Anggota DPRD HSU beserta aktivis WALHI kalimantan Selatan menggelar Jumpa Pers, mengungkap ancaman terhadap kehidupan tradisional masyarakat pedesaan di Kalimantan Selatan.
Haji Karani Tokoh Masyarakat Desa bararawa mengungkapkan bahwa, “”warga bararawa, Tampakang, Paminggir, Sapala, Amabahai kecamatan Paminggir yang tak dapat dipisahkan hidupnya dari perairan rawa tempat tinggal mereka, Lokasi ini merupakan tempat pengembalaan dan pemeliharaan ternak Kerbau rawa yang dahulunya diolah orang-orang tua kami secara bergotong.
Dengan menjadikan rumput air (Kumpai) untuk pakan ternak sebagian besar ditanami oleh masyarakat peternak kala itu. Hingga tahun tahun 2013 peternak Kerbau rawa di kecamatan Paminggir mencapai 300 Kepala Keluarga dengan populasi Kerbau hingga ± 10.000 ekor. Setiap tahun terjadi penambahan populasi kerbau rawa sekitar 1.000 ekor. Jadi bila harga kerbau 8 juta rupiah per ekor, maka daerah kami mencetak uang 8 milyar rupiah. Saat ini justru warga kekurangan lahan untuk menggembalakan Kerbau rawa, sehingga harus meminjam lahan daerah tetangga seperti Kuripan Barito Kuala, Negara Daha Hulu Sungai Selatan dan sekitarnya”.
Lebih jauh Haji Karani juga memaparkan, “pendapatan warga kampungnya dari Ikan jumlah nelayan kecamatan paminggir sebanyak 4.215 Nelayan dengan pendapatan kurang lebih Rp. 70.000 perhari hari, sedangkan kecamatan Danau Panggang 3. 237 Nelayan dengan pendapatan ± Rp. 55.000, per hari untuk kecamatan Babirik sebanyak 1.358 Nelayan dengan pendapatan ± Rp. 50.000, per hari, maka pada aspek ekonomi perikanan rawa yang berputar tiap bulannya di kecamatan Paminggir, Danau Panggang, dan babirik berkisar Rp. 16.229.550.000, perbulan, (enam belas milyar dua ratus dua puluh sembilan juta lima ratus lima puluh ribu rupaih”.
“Kami menolak Perkebunan Kelapa sawit dengan harga mati, karena membuka perkebunan sawit pun akan membunuh kami perlahan” tutupnya.
Dalam waktu yang bersamaan, Dwitho Frasetiandy, Direktur Eksekutif WALHI Kalimantan Selatan, Menerangkan bahwa “Sebelumnya tahun 2012 bupati HSU telah menolak 2 permohonan perizinan oleh 2 perusaan di lokasi ini. Setelah terjadi pergantian bupati pada bulan Oktober 2012, bulan Juli 2013, Bupati mengeluarkan izin lokasi perkebunan kelapa sawit PT. Hasnur Jaya lestari (HJL) seluas 10.079 Ha yang meliputi Kec. Paminggir, Kec. Babirik, dan Kec Danau Panggang Kabupaten Hulu Sungai Utara Provinsi Kalimantan Selatan”.
Lebih lanjut dia memaparkan hasil kajian WALHI Kalimantan Selatan bahwa Izin yang dikeluarkan oleh Bupati HSU ini bertentangan dengan beberapa peraturan” Inpres No. 6 Tahun 2013 sebagai kelanjutan Inpres No. 10 Tahun 2011 tentang penundaan pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alarn primer dan lahan gambut, SK Menhut Republik Indonesia No. 435 Tahun 2009 tentang penunjukan kawasan hutan Provinsi Kalimantan Selatan”
Hormansyah Ketua Komisi I DPRD HSU yang mendampingi Haji Karani ke Jakarta menyampaikan sikap DPRD HSU bahwa, “DPRD telah menyatakan Menolak ekspansi perkebunan sawit yang direncanakan, karena tidak memenuhi kaidah dan prosedur perizinan Pembukaan lahan sawit yang berlaku. Meminta kepada Bupati Hulu Sungai Utara untuk mencabut Surat Bupati Nomor. 414 Tahun 2013 Tentang Perizinan Izin Lokasi Perkebunan Kelapa Sawit Kepada PT. Hasnur Jaya Lestari (HJL) Seluas 10.079 hektar yang meliputi wilayah Kecamatan Paminggir, Babirik, Dan Danau Panggang Mengharapkan Bupati Hulu Sungai utara dan jajarannya untuk pembinaan ekonomi produktif kerakyatan yang telah dilakukan masyarakat secara turun temurun di Wilayah Kecamatan Paminggir, Babirik, Dan Danau Panggang”.
“Secara hukum izin ini telah melanggar Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan No. 9 Tahun 2000 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kalimantan Selatan, Peraturan Daerah Kabupaten Hulu Sungai Utara No. 12 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Hulu Sungai Utara Tahun 2012 - 2032 ; bahwa Kawasan Daerah Kecamatan Danau Panggang dan Paminggir merupakan kawasan Plasma Nutfah Kerbau Rawa”. tutup Anggota DPRD Hulu Sungai Utara, dari Fraksi PKB ini.
Harizajudin, Kepala Departemen Dimensi Sosial dan Inisiasi Kebijakan Sawit Watch mengingatkan perkebunan Kelapa sawit di Danau Panggang berpotensi munculnya konflik sosial, baik antara masyarakat dengan perusahaan maupun antar masyarakat sendiri.
Seharusnya perusahan harus menjalankann prinsif FPIC dalam tahapan awal perizinan perkebunan kelapa sawit. Penolakan sebagian besar masyarakat harusnya menjadi perhatian utama pemerintah kabupaten Hulu Sungai Utara. Bupati HSU hendaknya tidak melanjutkan Izin Lokasi menjadi Izin Usaha Perkebunan Untuk Budidaya (IUP-B). Perkebunan Kelapa sawit diharapkan bisa menyerap tenaga kerja juga perlu menjadi perhatian, karena selama ini kesejahteraan buruh kebun maupun perlindungan hak-hak buruh di banyak tempat masih sangat buruk. Sampai sekarang pun tidak ada kebijakan dari pemerintah yang memberi perlindungan terhadap hak-hak buruh perkebunan kelapa sawit
Zenzi Suhadi selaku Pengkampanye Hutan Dan Perkebunan Skala Besar WALHI Nasional, menilai “Bahwa keputusan izin prinsip oleh Bupati HSU ini dalam janga yang panjang merupakan ancaman bagi pangan kalimantan Selatan, karena selain sebagai penyuplai sumber protein kalimantan dengan kerbau dan hasil panen Ikan masyarkat, kawasan ini merupakan daerah pemijahan berbagai jenis ikan yang hidup di sungai barito, menggangu ekosistem daerah rawa ini, berarti memutus mata rantai siklus hidup ikan di sungai barito yang artinya secara langsung akan membunuh perekonomian masyarakat di DAS barito yang juga hidup dari mengelola perikanan air tawar. Sebaiknya Bupati HSU segera sadar dari gegabahnya, ada perbedaan besar antara membuka lapangan kerja dengan membunuh kehidupan masyarakat, Pemda setempat telah gagal mengenali masyarakatnya sendiri”.(rls/wlh/bhc/sya) |