MEDAN, Berita HUKUM - Dalam menjalankan bisnisnya, pengusaha sudah barang tentu memegang izin. Izin-izin harus mereka pegang seperti HTI, HPH, HGU, Eksplorasi pertambangan dll. Izin-izin tersebut dikeluarkan/diterbitkan berdasarkan adanya permohonan dari pengusaha. Selaku pihak pemohon adalah pengusaha/korporasi. Pemerintah adalah selaku pemberi izin dan pencabut izin dan juga sebagai pemantau apakah seluruh rangkaian kegiatan usaha yang dilakukan oleh pengusaha tersebut sudah benar (good corporate). Perusahaan selaku pemegang izin tentunya punya kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan termasuk membayar berbagai iuran yang telah diatur. Bentuk iuran/kewajiban dapat berupa pajak maupun non pajak (Penerimaan negara bukan pajak/PNBP). Hal ini dikatakan oleh Kusnadi selaku Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumatera Utara kepada wartawan di Medan, Senin (1/4).
Kusnadi juga menambahkan, “terkait dengan maraknya beberbagai konflik masyarakat/adat/petani dengan pengusaha di Sumatera Utara banyak disebabkan karena adanya klaim sepihak pemerintah atas tanah tersebut. Pemerintah dalam hal ini si pemberi izin tidak melakukan kajian yang mendalam tentang status kepemilikan tanah, budaya dan sejarah lahan/tanah tersebut,” tambahnya.
Lanjutnya lagi, “dalam pemberian izin pemerintah juga tidak berusaha mempedomani dan berupaya mewujudkan capaian reformasi agraria sebagaimana tertuang dalam Undang–Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 tahun 1960 sebagaimana dipertegas lebih lanjut dalam ketetapan MPR No.IX/MPR/2001 pasal 2. Pembaruan Agraria mencakup suatu posisi yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan Sumber Daya Agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia,” katanya.
Dikatanya lagi, “upaya-upaya try end error dengan dalih penegakkan hukum, kriminalisasi, sekenario sandiwara tidak akan mempersurut perlawanan kelompok-kelompok masyarakat/petani/adat tersebut. Sebab rasa keadilan mereka telah tersentuh dan merasa diberlakukan tidak adil. Jika konflik-konflik lahan ini terus bermunculan di berbagai kabupaten di Sumatera Utara tentunya dapat menciptakan instabilitas pemerintah daerah, dunia usaha, masyarakat itu sendiri. Kondisi instabilitas tersebut tentunya tidak diinginkan seluruh pihak karena value politik dan sosial recoverynya sangat tak ternilai. Oleh karena itu pemerintah diminta untuk segera menggunakan kewenangannya mengusullkan revisi berbagai izin yang telah dikeluarkan khususnya yang terkait dengan sengketa lahan dengan masyarakat. Konkritnya keluarkan seluruh wilayah yang berkonflik dan kembalikan ke masyarakat. Pastikan dan fasilitasi legalitas formal kepemilikan lahan yang dikelurkan benar adanya milik masyarak/petani/adat,” katanya lagi.
Sambungnya, “pra kondisi dalam bentuk komunikasi intensif para pemangku kepentingan pemerintah, dunia usaha, masyarakat/petani/adat dalam upaya revisi menjadi kunci utama (master key) kesuksesan. Kemudian pemerintah mengajukan kerangka acuan kepada pengusaha yang berisi berbagai stimulus dan opsi-opsi. Misalkan setelah luasan izinya direvisi dan diberikan ke masyarakat, maka pengusaha mendapatkan perpanjangan izin secara otomatis untuk satu priode kedepan. Mendapat pengurangan pembayaran iuran wajib disektor tersebut, potongan pajak, insentif khusus untuk ekspor, penambahan prosentase kepemilikan saham dan kemungkinan opsi bentuk-bentuk lainnya yang menguntungkan berbagai pihak (win-win solution),” ungkapnya.
“Jika pra kondisi antara pemberi izin dan penerima izin mencapai titik temu, tentunya tidak akan ada upaya PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) oleh pengusaha. Sekaranglah saatnya mengakhiri konflik berkepanjangan di sektor kehutanan, perkebunan, pertambangan,” tegasnya mengakhiri.(bhc/nco)
|