BANDA ACEH, Berita HUKUM – Kemarin, masyarakat gampong Peukan Biluy Aceh Besar kembali menutup operasional galian C di sekitar desa mereka. Penutupan ini merupakan puncak kekesalan akibat operasional Galian C telah merusak lingkungan desa. Terlebih perusahaan yang mengeruk tanah tersebut disinyalir tidak mempunyai izin.
Direktur WALHI Aceh, T. Muhammad Zulfikar menanggapi penutupan tersebut, dan menyatakan mendukung sepenuhnya aksi masyarakat desa. Menurutnya, aksi tersebut sudah tepat karena Pemkab Aceh Besar sendiri terkesan lamban mengantisipasi konflik pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA).
“Dulu, sekitar satu tahun lalu, warga Biluy juga telah menutup paksa satu perusahaan Galian C. Nah, kini ada lagi perusahaan menguras SDA Peukan Biluy. Ini menandakan Pemkab Aceh Besar belum mampu mengawasi kekayaannya yang dikeruk semena-mena,” ujar T. Muhammad Zulfikar.
WALHI Aceh mengkhawatirkan jika konflik SDA dibiarkan berlarut, maka pihak yang paling dirugikan adalah masyarakat. Selain itu, aparat desa dan kecamatan setempat menjadi “bulan-bulanan” segelintir orang yang memaksakan kehendak pribadinya.
“Kami dapat informasi bahwa perusahaan Galian C memaksa aparat setempat untuk membiarkan mereka bekerja. Padahal mereka sendiri belum ada izin dari Pemkab,” ujarnya.
Masyarakat desa Biluy menutup jalan masuk ke lokasi pengerukan Galian C, sehingga truk-truk pengangkut tanah tidak bisa masuk. Namun pihak Polsek, Koramil dan Camat Darul Kamal melakukan pendekatan dengan masyarakat agar jalan tersebut dibuka, mengingat jalan tersebut juga dipakai oleh masyarakat umum. Akhirnya dicapai kesepakatan untuk membuka jalan dan hanya menghentikan operasional beko saja.
Seharusnya Pemkab Aceh Besar bertindak cepat dalam merespon berbagai konflik SDA sehingga tidak terjadi konflik yang membesar.
WALHI Aceh yang turut ke lapangan hari ini Minggu, (14/10) guna meninjau langsung, melihat betapa antusiasnya masyarakat menutup operasional Galian C yang telah merusak kelestarian lingkungan desa. Perbukitan sekitar desa telah ‘terkupak kapik ” oleh beko-beko yang bekerja nyaris tanpa henti dalam 24 jam. Jalanan menjadi berdebu, vegetasi sebagai penyimpan air di perbukitan lenyap. Akibatnya dapat diduga, air yang terus mengalir tanpa henti disaluran irigasi kini sudah nyaris tak ada lagi. “Jangan sampai SDA yang melimpah ruah di kawasan Biluy menjadi “kutukan”, karena diperebutkan banyak pihak akibatnya hidup masyarakat pun tidak tenang,” pungkas T. Muhammad Zulfikar.(bhc/acp/dnb) |