Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
Legislatif    
Pasal 33 UUD
Wakil Ketua DPR: Pemerintah Keliru Tafsirkan Pasal 33 UUD 45
Tuesday 02 Feb 2016 16:12:25
 

Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah, saat memberikan keterangan kepada para wartawan.(Foto: jaka/parle/mr)
 
JAKARTA, Berita HUKUM - Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menilai Pemerintah, dalam hal ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) maupun Menteri Negara BUMN Rini Soemarno, memiliki kesalahan pemikiran terkait rencana pembangunan mega proyek 'raksasa' kereta api (KA) cepat Jakarta-Bandung, yang dikerjakan oleh China dengan anggaran sekitar Rp.71 triliun itu.

Menurutnya, yang paling fatal dari kesalahan tersebut adalah kekeliruan memahami makna pasal 33 UUD 1945, yang utamanya mengatur tentang perekonomian, pemanfaatan sumber daya alam (SDA) untuk kepentingan rakyat, dan prinsip perekonomian nasional itu sendiri.

"Ada beberapa kesalahan pikiran Preesiden Jokowi dan Meneg BUMN Rini Soemarno terkait proyek KA cepatitu. Pertama adalah kekeliruaan memahami makna pasal 33 yang diturunkan menjadi berbagai UU termasuk didalamnya UU BUMN," tegas Fahri, di Gedung Nusantara III, Senayan, Jakarta, Senin (1/2).

Menurut Fahri, makna dari pasal 33 ayat 2 dan ayat 3, sudah jelas bahwa dalam penguasaan kekayaan negara adalah untuk kesejahteraan rakyat.. Sebagaimana diketahui pasal 33 ayat 2, yang berbunyi; 'Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara,' dan pasal 33 ayat 3 yang berbunyi; 'Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

"Nah dalam hal ini, kerjasama 4 BUMN yang tergabung dalam satu konsorsium 4 dengan perusahaan China dalam hubungan Bussines to Bussines atau B to B itu jelas melanggar pasal tersebut. BUMN itu dibentuk dengan tugas utamanya menyebarkan kesejateraan, menyalurkan kekayaan sehingga rakyat sejahtera. BUMN menjadi semacam pipa yang menyalurkan kesejahteraan pada rakyat," tegas politisi senior dari PKS ini.

Fahri menilai dalam kasus KA cepat China ini, tiba-tiba Presiden Jokowi dan Meneg BUMN,Rini Soemarno memahami pengertian pasal 33 ke sebuah nalar seolah itu hanya bisnis semata yang dituangkan dalam kerjasama B to B.

"BUMN jelas milik negara, karena negara yang menjamin modal, eksistensi dan semua hal yang terkait BUMN," imbuh politisi asal dapil NTB itu.

Fahri juga menyoroti, bahwa infrastruktur harus diprioritaskan dengan kebutuhan masyarakat, diputuskan secara independen oleh negara, dan, tidak boleh diintervensi oleh pihak manapun. Tapi Fahri melihat, dalam kasus kereta cepat Jakarta Bandung itu terkesan seperti ada campur tangan pihak luar, dalam hal ini adalah pihak China.

"Dikatakan, Presiden Jokowi sering mengatakan akan mendahulukan pembangunan infrastruktur di luar Jawa untuk mendorong kemajuan ekonomi di daerah lainnya. Lah, kok sekarang mau membangun jalur kereta api cepat Jakarta-Bandung yang infrastrukturnya bisa dikatakan sudah lengkap karena sudah ada kereta api, tol maupun jalan non tol maupun angkutan udara," heran Fahri.

Karena itu, lanjut Fahri, pembangunan KA cepat ini sungguh melanggar rasa keadilan masyarakat, dimana saat ini masih banyak masyarakat di daerah yang menginginkan dan membutuhkan sekedar transportasi yang layak.

"Kalaupun mau dipaksakan membangun jalur KA di pulau Jawa, maka kereta cepat Banten-Banyuwangi masih lebih tepat. Paling tidak ini akan lebih berguna mendorong pembangunan," tutup Fahri.

Sementara, Kritik atas pengadaan kereta cepat Jakarta-Bandung terus disuarakan DPR. Moda transportasi massal itu selain terlalu mahal harganya, juga tidak urgen untuk rute yang terlalu dekat. Klaim pemerintah bahwa moda tersebut tidak dibiayai APBN, tetap saja menyedot keuangan negara.

Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon menyampaikan hal tersebut, Senin (1/2) di DPR usai menerima delegasi IMF dan Bank Dunia. "Secara pribadi saya katakan, kereta cepat tidak ada urgensinya. Sangat mahal dan secara rasional juga kita tidak membutuhkan itu sebagai yang prioritas."

Fadli Zon mengeritik, mestinya bila ingin membangun moda transportasi kereta cepat, harus ke jarak yang lebih jauh. Apalagi, pembiayaan pengadaan kereta cepat bersumber dari utang luar negeri. Ini semakin menambah beban utang negara saja.

Pengadaan proyek B to B juga dikritik politisi Partai Gerindra ini. Menurutnya, walau pemerintah menyatakan ini murni B to B lewat kerja sama BUMN, tetap saja keuangannya bersumber dari negara. BUMN adalah perusahaan yang dikelola negara.(dpr/mh/sf/nt/bh/sya)



 
   Berita Terkait >
 
 
 
ads1

  Berita Utama
Jokowi Akhirnya Laporkan soal Tudingan Ijazah Palsu ke Polisi, 5 Inisial Terlapor Disebut

Polri Ungkap 72 Kasus Destructive Fishing, Selamatkan Kerugian Negara Rp 49 Miliar

3 Anggota Polri Ditembak Oknum TNI AD di Way Kanan Lampung, Menko Polkam Minta Pelaku Dihukum Berat

Tolak Tawaran Jadi Duta Polri, Band Sukatani Akui Lagu "Bayar Bayar Bayar" Diintimidasi

 

ads2

  Berita Terkini
 
Jokowi Akhirnya Laporkan soal Tudingan Ijazah Palsu ke Polisi, 5 Inisial Terlapor Disebut

Polri Ungkap 72 Kasus Destructive Fishing, Selamatkan Kerugian Negara Rp 49 Miliar

3 Anggota Polri Ditembak Oknum TNI AD di Way Kanan Lampung, Menko Polkam Minta Pelaku Dihukum Berat

BNNP Kaltim Gagalkan Peredaran 1,5 Kg Sabu di Samarinda dan Balikpapan

Kasus Korupsi PT BKS, Kejati Kaltim Sita Rp2,5 Milyar dari Tersangka SR

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2