JAKARTA, Berita HUKUM - Meski Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (Minerba) memberikan batas lahan produksi sebesar 25 ribu hektar. Namun, hingga saat ini kontrak karya perusahaan tambang Weda Bay Nikel (WBN) masih memiliki luas 54.874 hektar di Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara.
Bahkan, berdasarkan temuan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) sebagian besar wilayah pertambangan perusahaan asal Perancis adalah kawasan hutan lindung.
Dimana, 46,8 persen atau 24.920 Hektar wilayah pertambangan WBN adalah kawasan hutan lindung dan juga dihuni penduduk desa Lelief Sawai, Lelilef Weibulan, dan Gemaf. Yang masih memperjuangkan tanah leluhurnya.
Padahal, Mahkamah Konstitusi melalui keputusan Nomor 32/PUU-VIII/2010 tentang uji materiil UU Kehutanan menyatakan dalam penetapan wilayah pertambangan pemerintah wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi kepentingan masyarakat yang wilayah maupun tanah miliknya akan dimasukkan ke dalam wilayah pertambangan dan masyarakat yang akan terkena dampak.
Untuk itulah, Direktur kampanye Tambang dan Energi Walhi Pius Ginting menuntut, Kementerian ESDM mengkaji ulang kontrak karya WBN.
"Karena ada produk hukum yang mengharuskan kontrak karya lahan produksi hanya 25 ribu Hektar," ujarnya saat ditemui Berita HUKUM.com di Jakarta, Kamis (18/7).
Dan kedua, Pius menegaskan, adanya keputusan MK yang mengharuskan menghormati, dan memenuhi kepentingan masyarakat yang wilayah maupun tanah miliknya akan dimasukkan ke dalam wilayah pertambangan dan masyarakat yang akan terkena dampak.
"Dan jika ESDM tetap bersikukuh itu sudah masuk pelanggaran. Sebab, sejak tahun 2010 pemerintah sudah harus menyesuaikan aturan Minerba," ungkapnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Thamrin Sihite menyebutkan lahan eksplorasi mineral dalam Kontrak Karya Pengusaha Pertambangan Batu Bara (PKP2B) maksimal 100 ribu hektare.
"Wilayah yang ditentukan khusus untuk eksplorasi mineral maksimal 100 ribu hektare. Kalau sudah operasi produksi jadi 25 ribu hektare," kata Thamrin usai rapat koordinasi PKP2B dan Hilirisasi Pertambangan di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Jumat (12/7).
Lalu, terkait dengan luasan lahan produksi WBN, Thamrin menyebutkan bahwa ada
empat perusahaan yang masih sulit dalam renegosiasi PKP2B karena belum menyetujui divestasi sebesar 51 persen, khusus untuk hulu sebagai representasi dari penguasaan negara untuk energi yang tak terbarukan.
Ia merinci keempat perusahaan tersebut, yakni PT Freeport Indonesia, PT Vale Indonesia, PT Nusa Hamahera Mineral, dan PT Weda Bay Nikel.
"Keempatnya harus menerapkan divestasi 51 persen karena usaha pertambangan pasti ada hulunya. Kalau mereka tidak mau, melanggar peraturan," katanya.(bhc/riz) |