JAKARTA, Berita HUKUM - Walikota Surabaya Tri Rismaharini menerangkan kewenangan mengelola pendidikan menengah telah tepat dipegang oleh pemerintah kabupaten dan kota sehingga tidak perlu ada pengalihan kepada pemerintah provinsi. Hal tersebut diungkapkan Risma selaku saksi yang dihadirkan Pemohon dalam pengujian sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Sidang perkara dengan Nomor 30/PUU-XIV/2016 tersebut digelar pada Rabu (8/6) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam keterangannya, ia mengungkapkan jika pengalihan kewenangan tetap dilakukan, maka pihak yang akan dirugikan adalah warga negara. Ia menyebut pengalihan kewenangan itu tidak berpihak kepada warga miskin. Sebagai pemerintah kota, Risma menilai pengelolaan atas pendidikan menengah lebih tepat dan lebih mengena kepada masyarakat apabila dipegang pemerintah kabupaten/kota.
Lebih lanjut, Risma mengemukakan selama masa jabatannya ia terus berupaya agar pendidikan menjadi prioritas utama. Baginya, setiap warga Surabaya merupakan sumber daya manusia yang patut diperhatikan pendidikannya karena akan menjadi sumber daya yang bermanfaat bagi pembangunan Kota Surabaya ke depan. "Karena saya ingin memberikan bahwa pendidikan itu hak semua orang, siapa pun dia, biarpun mereka miskin," paparnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat tersebut.
Berbeda Daerah
Dalam sidang tersebut, Pemohon juga menghadirkan dua orang Ahli, yakni Guru Besar Hukum Tata Negara (HTN) dan Hukum Administrasi Negara (HAN) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Philipus M. Hadjon dan Mantan Hakim Konstitusi Harjono. Dalam keterangannya, Harjono menjelaskan undang-undang tersebut lebih mencerminkan negara federasi karena adanya pembagian antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Seharusnya terkait kewenangan ini, menurut Harjono, pembentuk undang-undang harus memperhatikan potensi daerah yang berbeda-beda.
"Gejala-gejala yang timbul ketidakpuasan dan kemudian menimbulkan masalah-masalah dari pendekatan pembuatan undang-undang ini. Undang-Undang Pemerintahan Daerah mestinya tidak disusun secara simetris, mestinya harus memperhatikan apa yang dimampui oleh daerah dan ini tidak tercermin di sini," terangnya.
Permohonan teregistrasi Nomor 30/PUU-XIV/2016 tersebut diajukan oleh Walikota Blitar Muhammad Samanhudi Anwar dan sejumlah warga Surabaya yang merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan adanya Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda. Dalam pokok permohonannya, Samanhudi berkeberatan dengan aturan dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Angka I huruf A Nomor 1 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Pendidikan. Menurut pemohon, aturan yang mengalihkan pengelolaan pendidikan menengah dari pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintah provinsi. Pengalihan kewenangan tersebut mengakibatkan pengelolaan unsur manajemen pendidikan menengah menjadi sia-sia dan tidak berkelanjutan.
Sementara warga Surabaya menilai ketentuan Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda berpotensi menghilangkan jaminan bagi warga negara untuk mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagaimana dijamin dalam UUD 1945. Berlakunya Pasal 15 ayat (1) dan (2) serta lampiran huruf (A) UU 23/2014 menimbulkan ketidakpastian hukum dalam jaminan di bidang pendidikan.(LuluAnjarsari/lul/MK/bh/sya) |