JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Moratorium remisi dan pembebasan bersyarat bagi terpidana kasus korupsi tidak melanggar hak asasi manusia (HAM). Pasalnya, pengetatan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat terhadap pelaku korupsi sudah sesuai dengan peraturan perundangan yang ada.
Penegasan ini disampaikan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Denny Indrayana kepada wartawan di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis (3/11). Denny Indrayana merasa perlu angkat bicara untuk meluruskan presepsi masyarakat terkait rumor yang kian menyudutkan kebijakan pihaknya itu.
Menurut dia, moratorium itu juga untuk mengokohkan upaya pemberantasan korupsi serta sejalan dengan rasa keadilan masyarakat Sebaliknya, justru tidak adil kalau pemberian remisi dan pembebasan bersyarat koruptor disamakan dengan terpidana kasus lain. Perbedaan perlakuan ini tidak melanggar HAM. Hak seorang napi dapat dibatasi, karena UU mensyaratkan dan tata cara pemberiannya diatur Peraturan Pemerintah (PP).
"Kenapa kebijakan ini dilakukan? karena korupsi dan terorisme merupakan kejahatan luar biasa, sehingga pengetatan hak-hak narapinan kasus korupsi dan terorisme perlu dilakukan. Kebijakan ini dikeluarkan, agar dapat memberikan efek jera kepada pelakunya. Kemenkumham memiliki kewenangan itu dan hal ini semata-mata sejalan dengan rasa keadilan masyarakat," tegas dia.
Denny juga mengklarifikasi bahwa kebijakan baru. Padahal, kebijakan ini sudah lama diberlakukan. "(Kebijakan) ini bukan merupakan hal baru. Dalam PP Nomor 28 Tahun 2006 sudah dilakukan pengetatan. Ada syarat dan tata cara yang berbeda dan lebih berat untuk napi korupsi, terosirme, narkoba dan 'organize crime' lainnya," jelas mantan staf khusus presiden ini.
Lebih lanjut Denny juga membantah bila dikatakan kebijakan ini membuat deskriminasi kepada hak narapidana. "Justru yang tidak adil bila kejahatan umum diperlakukan sama dengan kejahatan khusus. Pencuri kakao untuk makan sehar-hari, hukumannya jangan disamakan dengan koruptor yang menyelewengkan uang negara untuk memperkaya diri," tandas Denny.
Dalam kesempatan terpisah, hakim agung Gayus Lumbuun mengatakan, kebijakan moratorium remisi koruptor jangan terlalu tergesa-gesa dilakukan. Sebab, jika hanya menggunakan keputusan menteri tanpa ada UU di baliknya, dikhawatirkan gagasan tersebut sengaja dilakukan untuk kepentingan sesaat dan kepentingan tertentu.
Menurut mantan politisi PDIP ini, jika kebijakan moratorium tidak memiliki dasar UU dan hanya berdasarkan keputusan menteri, hal tersebut akan meresahkan masyarakat. Pasalnya, Indonesia sebagai negara hukum harus memberlakukan UU sebagai dasar hukum yang pembentukannya dilakukan oleh masyarakat yang diwakili pemerintah dan DPR.
“Sebaiknya pemerintah melalui Menkumham mengajukan revisi UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan untuk dibahas bersama DPR. Revisi bisa dilakukan mengenai aturan remisi, pembebasan bersyarat dan sebagainya. "Sebaiknya merevisi UU yang mengatur tentang remisi dan bebas bersyarat tersebut, baru moratorium bisa diberlakukan,” jelas mantan Wakil Ketua Badan Kehormatan DPR ini.(dbs/wmr/rob)
|