JAKARTA, Berita HUKUM - Harapan masyarakat ada kehidupan dan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik di era Presiden Joko Widodo (Jokowi), nampaknya malah terbukti sebaliknya. Berbagai harga dan tarif komoditas publik dinaikkan. Harga bbm ditetapkan dengan ukuran pasar, tanpa justifikasi yang lebih rasional dan komprehensif.
Keputusan pemerintah untuk menaikkan harga BBM pada beberapa hari yang lalu, patut dikritisi sebagai berikut:
1. Semua komoditas publik mengalami kenaikan atas dampak kenaikan harga bbm yang pertama, baik di sektor barang dan atau jasa. Benar pemerintah pernah menurunkan harga bbm, tapi terbukti turunnya harga bbm tidak diiringi dengan turunnya harga-harga komoditas publik tersebut. Jadi praktis turunnya harga bbm tidak dirasakan manfaatnya, kecuali oleh para pemilik kendaraan bermotor pribadi.
2. Pemerintah gagal mewujudkan tarif angkutan umum yang adil bagi masyarakat, bahkan bagi operator sekalipun. Dengan harga bbm yang fluktuatif, mengakibatkan tarif angkutan kota menjadi flluktuatif juga, yang endingnya bisa menimbulkan konflik antara penumpang dengan awak angkutan. Ini karena pemerintah tidak punya skema tatif angkutan kota yang lebih visible dan berjangka panjang.
Hasil survey YLKI bersama Mitra di 6 ibukota propinsi yaitu Jakarta, Denpasar, Lombok, Pontianak, Bandar Lampung dan Manado menunjukan kenaikan harga BBM mempunyai dampak luas karena secara langsung akan menaikan harga barang-barang yang disebabkan naiknya ongkos transpotasi. Antri yang lama merupakan bentuk kesulitan yang paling sering dihadapi oleh pengguna BBM. Sedangkan bagi sopir angkot kenaikan harga BBM disamping kesulitan mendapatkan stock, juga mengalami penurunan pendapatan karena ketika harga BBM naik maka setoran dan harga suku cadang juga ikut naik. Kendala tersebut konsisten dengan kesulitan yang dirasakan oleh petugas SPBU yang sering mengalami keterlambatan pasokan dari Pertamina.
Selain melakuan survey ke pangguna BBM, petugas SPBU dan sopir angkot, YLKI dan mitra di 6 kota propinsi juga melakukan investigasi ke pengecer BBM yang hasilnya bahwa pada umumnya para pengecer memperolah BBM dengan membeli di SPBU dengan menggunakan jirigen dan mobil yang dimodifikasi. Margin harga BBM antara harga di SPBU dan di Tingkat Pengecer untuk premium paling tinggi terjadi di Pontianak sekitar 1.000 – 6.000 rupiah. Dan yang terendah di Denpasar sekitar 500 rupiah.
Dari aspek legilitas usaha dagangnya, sebagian besar para pengecer menjual BBM tanpa ijin. Dari sebanyak 108 penbecer, hanya 38 responden yang mengantongi ijin penjualan, sisanya sebanyak 100 pengecer mengaku tidak memiliki ijin.
3. Seharusnya pemerintah tidak mencabut subsidi energi secara serentak, sebelum menyiapkan skema kebijakan untuk mengamankan atas dampak yang ditimbulkan. Termasuk menerapkan harga bbm secara fluktuatif. Tidak fair jiika Menteri ESDM meminta masyarakat harus merasa terbiasa dengan harga bbm yang fluktuatif, sementara pemerintak tidak menyiapkan skema kebijakan untuk menekan dampak esternalitas dari harga bbm yang fluktuatif itu.
4. Pemerintah sepertinya hanya menjadikan harga minyak mentah dunia sebagai kamuflase saja. Kenaikan harga bbm, bahkan kenaikan harga di sektor jasa, karena dipicu faktor nilai rupiah yang ambruk. Ini kebijakan yang tidak adil, jika faktor nilai tukar rupiah untuk menentukan kebijakan tarif. Apalagi masalah ambruknya nilai rupiah, lebih banyak dipicu faktor intern dalam negeri (konflik elit politik?), dan lemahnya tim ekonomi Pemerintah.
5. Pemerintah juga tidak/belum transparan, jika subsidi energi dicabut, apa kompensasi atas pencabutan subsidi energi tersebut/subsidi bbm? Dialokasikan kemana? Untuk apa? Buktikan dengan kebijakan yang konkrit dan terukur. YLKI khawatir kenaikan harga bbm hanya untuk membayar selisih kurs karena ambruknya nilai rupiah terhadap dolar Amerika!
6. Pemerintah juga seharusnya konsisten untuk merombak politik kebijakan energi, dengan mengutakan dan mengembangkan energi baru dan terbarukan. Juga mewujudkan sarana transportasi publik yang terintegrasi , manusiawi dan terjangkau.
Demikian catatan YLKI terhadap kenaikan harga bbm. Demikian rilis pers dari Sudaryatmo, Ketua Pengurus Harian
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) di Jakarta, Rabu (1/4).(ylki/bh/sya) |