JAKARTA, Berita HUKUM - Yusril Izha Mahendra sebagai Ketua Umum (Ketum) Partai Bulan Bintang (PBB) mengkritik keras kinerja setahun Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla yang dituding salah langkah dalam mengambil kebijakan perekonomian, dimana menurut berbagai survei ekspektasi masyarakat perihal ekonomi yang melemah, dan berbagai kritik dari masyarakat terhadap pemerintahan.
Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.S saat konferensi pers di Jakarta, Senin (26/10) menyampaikan, meski tidak bermaksud untuk mengatakan 'keliru', namun asumsi dasar ekonomi makro yang digunakan Pemerintah dalam menyusun RAPBN 2016 sungguh 'tidak realistis' dan mengandung kelemahan-kelemahan yang prinsipil. "Seperti itulah hasil mencermati lebih mendalam Nota Keuangan dan RAPBN 2016," ujarnya, kepada para wartawan di kantor DPP Partai Bulan Bintang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Ibaratnya, dimana tolak ukurnya dari penetapan angka pertumbuhan ekonomi sebesar 5,5 persen, serta laju inflasi sebesar 4,7 persen, maupun angka nilai tukar rupiah yang dipatok Rp. 13.400 per US$, dengan asumsi harga minyak mentah Indonesia di pasar dunia dipatok sebesar 60 US$ / barel, dengan lifting minyak 830 ribu barel per harinya.
Para ahli ekonomi makro, public pun mengetahui persis angka tersebut tidaklah menggambarkan keadaan sebenarnya. Semisal, angka nilai tukar rupiah meski kembali menguat, namun hingga hari ini tetap bertengger di angka Rp. 13.500 per US$.
Menurut Yusril Ihza Mahendra yang juga sebagai mantan Menteri Sekretaris Negara pada Kabinet Indonesia bersatu ini turut mempertanyakan bahwasanya, dalam nota keuangan RAPBN 2016 nyaris tidak menggambarkan respon Pemerintah, atas menurunnya daya beli masyarakat serta usaha menekan laju inflasi.
Malahan pada sisi lainnya, "Kenapa Pemerintah meningkatkan sektor perpajakan dalam negeri sebagai target penting sumber penerimaan keuangan negara, hingga mencapai angka 1.524,013 triliun rupiah ?," cetus Ketum PBB Yusril Ihza Mahendra, yang juga sebagai Pengacara senior di Indonesia dan mantan Menteri Hukum dan Perundang-undangan.
Menelisik target pendapatan negara yang dipatok kisaran 1.848 triliun rupiah pada RAPBN 2016 tersebut, pendapatan perpajakan dalam negeri menyumbang Rp. 1.524 triliun, pendapatan pajak perdagangan internasional menyumbang Rp. 41 triliun rupiah. Sementara, target penerimaan bukan pajak hanya mampu menyumbang 280 triliun rupiah.
Untuk itu, Partai Bulan Bintang memberikan sumbang saran kepada Pemerintah Indonesia agar perlu menghitung ulang dan menetapkan kembali asumsi dasar makro ekonomi, sektor penerimaan, dan pengeluaran dengan lebih realistis, cermat, jujur, dan hati-hati, sekaligus, mendesain RAPBN 2016 sebagai bagian utuh dari usaha perbaikan ekonomi. Terlebih lagi jika kebijakan "tanpa tembakau" yang disuarakan berbagai pihak berhasil. Alhasil, target pendapatan negara dari penerimaan cukai sebesar 155 triliun rupiah dipastikan menurun drastis nantinya. Ditambah meningkat angka kemiskinan tahun ini menjadi 38 juta jiwa, dimana pada masa pemerintahan SBY jumlahnya kisaran 26 juta jiwa.
"Penetapan asumsi dasar yang berimplikasi pada tidak realistisnya target penerimaan pendapatan negara tersebut, maka RAPBN 2016 dinilai tidak memberikan harapan pada perbaikan ekonomi negara," pungkas Yusril Ihza Mahendra.(bh/mnd) |