Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
Pemilu    
Presidential Threshold
Gatot Nurmantyo Perbaiki Uji Ketentuan Pencalonan Presiden
2022-01-28 06:43:39
 

 
JAKARTA, Berita HUKUM - Gatot Nurmantyo memperbaiki permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU pemilu). Sidang panel untuk memeriksa perbaikan ini digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (26/1).

Gatot Nurmantyo melalui kuasa hukumnya, Refly Harun menegaskan tidak ada perubahan permohonan mengenai kedudukan hukum (legal standing) Pemohon. Terkait hak untuk memilih dan hak untuk dipilih, Pemohon menambahkan putusan-putusan MK sebelumnya yang amarnya mengabulkan permohonan.

"Pemohon juga sudah menambahkan putusan-putusan MK terdahulu yang mengabulkan terkait persoalan hak untuk memilih dan hak untuk dipilih," jelas Refly kepada Panel Hakim yang dipimpin Wakil Ketua MK Aswanto.

Selain itu, Pemohon menambahkan halaman permohonan. Semula berjumlah 13 halaman menjadi 62 halaman. Hal lain, Pemohon melakukan pendekatan perbandingan, dengan menampilkan puluhan negara yang tidak menerapkan presidential threshold dalam pencalonan presiden.

Sebagaimana diketahui, permohonan Perkara Nomor 70/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh Gatot Nurmantyo yang pernah menjabat sebagai Panglima TNI. Gatot Nurmantyo menjelaskan kedudukan hukumnya sebagai warga negara Republik Indonesia yang memiliki hak untuk memilih sesuai dengan ketentuan dalam UU Pemilu.

Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar pada Selasa (11/1/2022) secara daring kuasa hukum Pemohon, Refly Harun menjelaskan bahwa Pemohon menguji Pasal 222 UU Pemilu yang menyatakan, "Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua 5 puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya".

Menurut Pemohon, Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan ketentuan Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 6A ayat (5) UUD 1945. Pemohon menganggap bahwa presidential threshold itu bukan hanya soal prosedur, tapi soal substansi. Pemohon menganggap bahwa itu sudah close legal policy, bukan open legal policy.

"Kami mengajukan permohonan yang sangat sederhana, lebih sederhana dibandingkan permohonan sebelumnya yang kami katakan bahwa ini sudah jelas expresif verbis, mengatur constitutional rights bagi partai politik untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden sepanjang ia menjadi peserta pemilihan umum dan sama sekali tidak ada ketentuan yang mengatakan harus 20% atau harus memenuhi ambang batas tertentu dan itu sekali lagi sudah merupakan close legal policy yang tidak terkait dengan tata cara. Tapi ini adalah substansi. Jadi untuk itu, seharusnya tidak ada yang namanya ambang batas," tandas Refly.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) pada Selasa (11/1) lalu secara daring. Permohonan yang teregistrasi dengan nomor 70/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh Gatot Nurmantyo yang diwakili kuasa hukum Refly Harun.

Pemohon menguji Pasal 222 UU Pemilu yang menyatakan, "Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua 5 puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya".

Refly menjelaskan kepada Panel Hakim MK bahwa Pemohon dalam permohonan ini adalah Gatot Nurmantyo yang pernah menjabat sebagai Panglima TNI dan warga negara Republik Indonesia yang memiliki hak untuk memilih. Sesuai dengan ketentuan dalam UU Pemilu, Gatot Nurmantyo memiliki hak untuk memilih.

"Jadi, legal standing dalam permohonan ini adalah perorangan warga negara Republik Indonesia dan memiliki hak untuk memilih dan hak untuk memilihnya itu potensial dirugikan dengan penerapan presidential threshold yang membatasi calon dan juga tentu berpotensi untuk bertentangan dengan pasal-pasal lain dalam konstitusi," kata Refly.

Menurut Pemohon, Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 6A ayat (5) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Pemohon menganggap bahwa presidential threshold itu bukan hanya soal prosedur, tapi soal substansi.

"Kami mengajukan permohonan yang sangat sederhana, lebih sederhana dibandingkan permohonan sebelumnya yang kami katakan bahwa ini sudah jelas expressis verbis, mengatur constitutional rights bagi partai politik untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden sepanjang ia menjadi peserta pemilihan umum dan sama sekali tidak ada ketentuan yang mengatakan harus 20% atau harus memenuhi ambang batas tertentu dan itu sekali lagi sudah merupakan close legal policy yang tidak terkait dengan tata cara. Tapi ini adalah substansi. Jadi, untuk itu, seharusnya tidak ada yang namanya ambang batas," tandas Refly.

Tidak Mengulang Argumen

Ketua Panel Hakim Konstitusi Aswanto mempertanyakan kepastian argumentasi pada permohonan. "Tetapi kalau ada argumen?argumen baru, Mahkamah akan melihat bahwa mungkin saja pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Nomor 53/PUU-XV/2017 itu memang ada hal?hal yang kurang, sehingga Mahkamah mau tidak mau harus mengubah pandangannya. Ini yang menurut saya penting untuk dielaborasi kembali, sehingga Mahkamah yakin bahwa memang ini tidak hanya mengulang saja perkara sebelumnya," ujar Aswanto.

Sementara Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih memberikan nasihat perbaikan permohonan terkait dengan Kewenangan Mahkamah. Enny menyarankan Pemohon menambahkan Undang?Undang tentang Kekuasaan Kehakiman.

"Berikutnya, bentuk kerugian konstitusional dari Pemohon ini apa sesungguhnya? Karena apakah Pemohon ini pernah mencalonkan atau dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik, seperti itu? Nah, itu coba dielaborasi lagi lebih dalam. Karena di sini hanya menyebutkan bahwa Pemohon kehilangan hak konstitusionalnya untuk mendaftarkan sebanyak?banyaknya calon," kata Enny.

Sedangkan Hakim Konstitusi Suhartoyo menyoroti substansi permohonan atau posita. "Kalau Anda bisa menarik roh daripada pertimbangan Putusan 74 di bagian legal standing, bagaimana Anda juga bisa mencari roh pertimbangan pada bagian substansi," kata Suhartoyo.(MK/NanoTresnaArfana/bh/sya)



 
   Berita Terkait >
 
 
 
ads1

  Berita Utama
Permohonan Praperadilan Tom Lembong Ditolak, Jampidsus Lanjutkan Penyidikan

Polri Bongkar Jaringan Clandestine Lab Narkoba di Bali, Barang Bukti Mencapai Rp 1,5 Triliun

Komisi XIII DPR Bakal Bentuk Panja Pemasyarakatan Usai 7 Tahanan Negara Kasus Narkoba Kabur dari Rutan Salemba

Pakar Hukum: Berdasarkan Aturan MK, Kepala Daerah Dua Periode Tidak Boleh Maju Lagi di Pilkada

 

ads2

  Berita Terkini
 
Permohonan Praperadilan Tom Lembong Ditolak, Jampidsus Lanjutkan Penyidikan

Hari Guru Nasional, Psikiater Mintarsih Ingatkan Pemerintah Agar Segera Sejahterakan Para Guru

Polri Bongkar Jaringan Clandestine Lab Narkoba di Bali, Barang Bukti Mencapai Rp 1,5 Triliun

Judi Haram dan Melanggar UU, PPBR Mendesak MUI Mengeluarkan Fatwa Lawan Judi

Komisi XIII DPR Bakal Bentuk Panja Pemasyarakatan Usai 7 Tahanan Negara Kasus Narkoba Kabur dari Rutan Salemba

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2