BANDA ACEH, Berita HUKUM - Janji-janji yang diumbar Pemerintah Aceh dalam kampanye Pilkada lalu hanya tinggal janji, kata mantan anggota DPR RI, Ghazali Abbas Adan, seperti pemberian Rp 1 juta/ bulan/ keluarga, naik haji gratis bagi anak Aceh yang sudah akil balik dengan kapal pesiar dan lain-lain dari 21 janji, sampai saat ini hanya pepesan kosong.
Ironisnya, Qanun Lembaga Wali Nanggroe, demikian pula qanun tentang bendera dan lambang Aceh, kendati tidak pernah diminta rakyat, tetapi sim salabim sudah jadi dan disahkan, kemudian sim salabim pula dimasukkan dalam Lembaran Daerah.
"Sementara 21 janji termasuk Qanun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan Qanun Jinayah dan Acara Jinayah," katanya melalui pesan elektroniknya, Kamis (11/4).
Menurutnya, pepesan kosong mereka saat ini tidak terdengar lagi kapan janji itu diwujudkan. Jangankan ada upaya nyata mewujudkan, respons saja tidak ditunjukkan. Betapa eksekutif dan legislatif Aceh saat ini begitu sungguh-sungguh dan bersemangat melakukan sesuatu apabila bersentuhan dengan kepentingan diri dan gengnya.
Dalam waktu yang bersamaan berbanding terbalik dengan kepentingan rakyat banyak. Bahwa terhadap kinerjanya itu mendapat protes dari berbagai elemen masyarakat bahwa regulasi DPRA tidak ada yang pro rakyat dan anehnya mereka menutup mata dan telinga.
Lihat saja bagaimana gencarnya kritik dan penolakan massif terhadap Qanun Wali Nanggroe, bendera dan lambang Aceh, tetapi mereka tidak peduli. Bahkan yang terakhir muncul kontroversi berkaitan dengan Qanun Bendera dan Lambang yang nyata-nyata bertentangan dengan peraturan pemerintah, tetap saja mereka ngotot dan menunjukkan sikap keras kepala.
Malah ada anggota dewan yang menyatakan, sampai dicincang sekalipun bendera dan lambang produk Pemerintah Aceh dan DPRA tetap dipertahankan. "Ini adalah pernyataan konyol dan arogan," ujar Abbas.
Gazali yakin bahwa pemerintah pusat tidak akan tunduk kepada siapapun warga negara yang dengan arogan dan pongah menunjukkan sikap menentang dan pembangkangan terhadap konstitusi negara, dan memang demikianlah semestinya, demi tegaknya wibawa pemerintah pusat dan supremasi konstitusi negara.
Katanya lagi, sikap keras kepala yang dipertontonkan itu, tidak terlepas dari sikap pemerintah pusat, melalui Mahkamah Konstitusi melakukan tutup buka pendaftaran peserta pemilkuda Aceh tahun lalu, padahal ia bukanlah prinsip ketegasan MK dalam semua Pemilukada di tanah air selama ini. "Tetapi untuk Partai Aceh pemerintah pusat dan MK labil dan linglung. Sudah dikasih hati, kini minta jantung," ungkapnya.
Agaknya tuntutan rakyat tersebut mau diganti dan bendera dan lambang olahan mereka, dan sepertinya rakyat Aceh saat ini belum butuh simbol-simbol itu. Yang amat sangat dibutuhkan rakyat saat ini adalah wujud nyata dari 21 janji yang pernah diumbar itu," demikian Ghazali Abbas Adan.(bhc/sul) |