JAKARTA, Berita HUKUM - Media massa atau pers memilki peran jurnalistik untuk menyampaikan informasi (transfer knowledge) kepada masyarakat luas mengenai seluruh aktifitas Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam menyelenggarakan pemilu. Di lain pihak, KPU juga harus dapat memberikan akses seluas-luasnya kepada pers, sehingga pemberitaan yang dimuat oleh media menjadi berimbang, faktual, dan akurat. Jika kondisi ideal itu dapat berjalan, maka akan tercipta hubungan simbiosis mutualisme.
“KPU ingin memberikan akses yang seluas-luasnya kepada media, sehingga media dapat menginformasikan segala aktifitas KPU. Tapi, media juga harus berimbang, harus fair, lugas. Ini namanya simbiosis mutualisme,” demikian harapan yang disampaikan oleh anggota KPU, Ferry Kurnia Rizkiyansyah, dalam kegiatan Orientasi Pers antara KPU dengan media massa, di Hotel Red Top, Jakarta, Selasa (30/10).
Selain Ferry, tampil sebagai pembicara adalah Hadar Nafis Gumay (anggota KPU), Prof. Siti Zuhro (peneliti senior LIPI), dan August Mellaz (Peneliti Perludem). Sekitar seratus peserta dari berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik, menjadi undangan dalam acara tersebut.
Mantan Ketua KPU Jawa Barat itu juga menekankan, dalam pemberitaan menyangkut seluruh tahapan Pemilu 2014 yang telah, sedang, dan akan dilaksanakan, KPU dan media massa harus memiliki kesamaan persepsi. Ia mencontohkan, ketika ada pihak-pihak yang mempertanyakan kemandirian KPU karena melakukan kerjasama dengan pihak asing (polemik Sipol-red), media seharusnya dapat memberikan informasi yang lebih berimbang.
“Mandiri itu artinya, ketika memutuskan sesuatu, termasuk kerjasama dengan pihak asing misalnya, KPU tidak dalam kondisi tertekan karena adanya intervensi. KPU harus memutuskan sendiri, harus mampu mengontrol semuanya. Jadi tidak ada itu keberpihakan atau intervensi. Begitu juga saat harus menunda pengumuman partai yang lolos verifikasi administrasi. Hal itu (penundaan --red) karena kami harus berhati-hati dan cermat dalam membuat keputusan. Saya berharap teman-teman media dapat menginformasikannya dengan baik,” tandas pria yang menyelesaikan Program S 3-nya di Universitas Padjajaran, Bandung, Jawa Barat itu.
KPU, sambung Ferry, saat ini sedang melakukan tahapan verifikasi faktual parpol calon peserta Pemilu 2014. Rekapitulasi hasil verifikasi faktual dan penetapan hasilnya akan diputuskan dalam rapat pleno yang akan dilakukan secara terbuka.
“Sesuai jadwal dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 15 Tahun 2012 yang baru saja dirilis, verifikasi faktual kepengurusan pusat dan provinsi akan dilakukan pada 30 Oktober-6 November 2012, sedangkan di tingkat kabupaten/kota pada 30 Oktober hingga 24 November 2012. Silakan seluruh prosesnya diinformasikan oleh media. Berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, rapat pleno penetapan pada 8 Januari 2013 pun akan kami gelar terbuka. Ini agar rekan-rekan pers dapat meliputnya secara langsung,” janji Ferry.
Ferry menambahkan, sesuai kesepakatan, pada 6 Desember tahun ini, Pemerintah akan menyerahkan Data Agregat Kependudukan per Kecamatan (DAK2) kepada KPU, dan akan menjadi basis bagi KPU dalam menyusun daftar pemilih (voter registration). Hal inilah yang dikeluhkan oleh Ferry. Menurutnya, sebaiknya data yang diserahkan bukan data agregat, melainkan data kependudukan.
“Kalau data agregat, itu artinya isinya hanya jumlah penduduk keseluruhan. Jadi bukan data by name. Harusnya yang diserahkan itu data kependudukan, yang memuat data by name. Itu akan memudahkan KPU melakukan sinkronisasi dalam menyusun Daftar Pemilih Sementara (DPS). Tapi, KPU mengikut saja pada undang-undang,” katanya.
Sementara, Siti Zuhro menyampaikan, peran media dalam penyelenggaraan pemilu sangat menonjol. Meski pun media tidak dapat seratus persen menjadi non partisan, paling tidak, media dapat menjalankan fungsi jurnalismenya untuk menyebarluarkan informasi dan sosialisasi (transfer knowledge) apa yang dilakukan oleh KPU.
“Semakin baik seorang jurnalis memahami issue, maka akan semakin “dalam” informasi yang bisa ia tulis. Demokrasi itu selain dari rakyat, juga untuk rakyat. Ini namanya pengarusutamaan rakyat. Kalau media belum bisa menghargai toleransi, trust building, dan egaliter, itu berarti belum bisa independen. Idealnya, tidak boleh terjadi, owner media itu juga seorang pimpinan parpol. Jika itu terjadi, maka antara asa dan realita, akan ada gap yang luar biasa. Saya tantang teman-teman media untuk bisa lebih berperan dalam meningkatkan partisipasi,” ujar doktor Ilmu Politik dari Curtin University, Perth, Australia itu.(kpu/bhc/opn) |