Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
Pemilu    
Kebebasan Pers
Reproduksi Regulasi Usang, Ancaman Bagi Kebebasan Pers
Tuesday 16 Apr 2013 23:25:03
 

lbh pers (Foto: Ist)
 
JAKARTA, Berita HUKUM - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, prihatin dan menyesalkan kebijakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga penyelenggara pemilu dalam membuat peraturan tidak dilakukan secara teliti dan hati-hati, serta tanpa sinkronisasi dengan regulasi terkait yang masih berlaku ataupun sudah dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi. Hal ini menyebabkan KPU telah mereproduksi regulasi usang yang menghidupkan kembali regulasi pembelenggu dan menjadi ancaman kebebasan pers.

Peraturan KPU No 1 tahun 2013, tanggal 10 Januari 2013, tentang : Pedoman pelaksanaan kampanye Pemilihan Umum, anggota DPR, DPD dan DPRD, dalam Bab VII tentang pemberitaan, penyiaran dan iklan kampanye, dalam pasal 36-pasal 46, selain mengatur tentang pemberitaan, penyiaran dan iklan kampanye, juga mengatur sanksi. Aturan sanksi inilah yang menimbulkan tanda tanya besar, bagaimana proses penyusunan peraturan di Komisi Pemilihan Umum.

Dalam pasal 46 ayat (1) disebutkan :
“Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) dapat berupa :a.teguran tertulis; b. penghentian sementara mata acara yang bermasalah; c. Pengurangan durasi dan waktu pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye Pemilu; d.Denda; e. Pembekuan kegiatan pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye Pemilu untuk waktu tertentu;atau f. Pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran atau pencabutan izin penerbitan media massa cetak.”

Berdasarkan kajian LBH Pers (LBH Pers, LBH Pers Padang dan LBH Pers Surabaya), pasal tersebut merupakan aturan yang tercantum dalam pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

Dalam Pasal 57 ayat (1), dinyatakan bahwa : “Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) dapat berupa :a.teguran tertulis;b. penghentian sementara mata acara yang bermasalah;c. Pengurangan durasi dan waktu pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye Pemilu;d.Denda; e.Pembekuan kegiatan pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye Pemilu untuk waktu tertentu;atau f.Pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran atau pencabutan izin penerbitan media massa cetak.”

Lembaga Bantuan Hukum Pers, bersama 7 pemred media yang antara lain Karaniya Dharmasaputra (Pemred vivanews,com), Heru Hendratmoko (Pemred KBR 68H), FX Rudi Gunawan (Pemred VHR), Endi M Bayuni (Pemred The Jakartapost), Sri Malela Mahargasari (Pemred Koran Tempo), Ramadhan Pohan (Pemred Jurnas) dan Toriq Hadad (Pemred Majalah Tempo) telah mengajukan Judicial review ke Mahkamah Konstitusi, untuk membatalkan pasal 57 ayat (1) UU 42 Tahun 2008 tentang pemilu Presiden dan Wakil Presiden dan kemudian Makhkamah Konstitusi mengabulkan seluruh permohonan dengan menghapus pasal tersebut pada putusan permohonan perkara Nomor 99/PUU-VII/2009. Yang substansinya kembali di adopsi oleh Komisi Pemilihan Umum ini. Lembaga Bantuan Hukum Pers berpendapat, bahwa sanksi berupa pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran atau pencabutan izin penerbitan media massa cetak, bertentangan dengan UUD RI Tahun 1945 terutama pasal 28 dan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers terutama Pasal 18 ayat (2), Pasal 18 ayat (3), Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 1 butir 8 dan Pasal 2.

Selain itu, menurut LBH Pers bahwa pengaturan pencabutan izin sebagaimana pasal 46 ayat (1) Peraturan KPU tersebut bertentangan dengan semangat reformasi yang sudah tidak memberlakukan lagi pembredelan dan menurut Undang-Undang Pers No. 40 tahun 1999 tidak lagi memberlakukan penyensoran dan pemberedelanPasal 4 ayat (2), berbunyi :“Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran.”

Dalam Pasal 28 F amandemen kedua UUD 1945 menyebut bahwa setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Ini berarti kebebasan pers mendapatkan jaminan yang sangat kokoh di tingkat konstitusi. Kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi mendapatkan jaminan konstitusional yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Pers Indonesia juga mengalami terobosan yang sangat progresif. Pemerintahan Habibie memutuskan untuk menghapus Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) di era sebelumnya, SIUPP merupakan salah satu mekanisme manjur untuk membatasi ruang gerak pers.

Bahwa Pasal 46 ayat (1) Peraturan KPU No. 1 Tahun 2013 yang intinya berisi jenis-jenis sanksi yang dapat dijatuhkan oleh KPI atau Dewan Pers, hanya relevan untuk lembaga penyiaran, karena hanya merupakan copy paste dari ketentuan dalam UU 32/2002 dan tidak relevan untuk media massa cetak. Sedangkan Pasal 46 ayat (1) huruf f Peraturan KPU itu, bagi lembaga penyiaran berdasarkan UU 32/2002 memang dimungkinkan, namun bukan oleh KPI melainkan oleh Pemerintah (Menkominfo).

Sanksi ini jelas tidak dapat diberlakukan kepada media cetak karena UU 40/1999 tidak lagi mengenal lembaga perizinan penerbitan media massa cetak. Lebih jauh, hal ini bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yakni menimbulkan ketidakpastian hukum dan juga melanggar prinsip kebebasan berekspresi yang dijamin oleh UUD 1945. Dengan menggunakan logika hukum dan dasar hukum yang sama maka demikian pula Pasal 46 ayat (2) yang berbunyi: “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan pemberian sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia atau Dewan Pers bersama KPU”, terhadap ketentuan pasal ini juga harus dihapuskan karena tidak relevan lagi untuk dipertahankan keberadaanya.

Berdasarkan pemaparan di atas, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers menyatakan hal hal sebagai berikut :

Menuntut Komisi Pemilihan Umum untuk membatalkan Peraturan KPU No 1 tahun 2013, tanggal 10 Januari 2013, tentang: Pedoman pelaksanaan kampanye Pemilihan Umum, anggota DPR, DPD dan DPRD.

Menuntut KPU untuk melibatkan KPI dan Dewan Pers dalam melakukan perumusan peraturan mengenai kampanye melalui media.

Menuntut Komisi Pemilihan Umum untuk melakukan prinsip kehati-hatian dalam membuat regulasi. Meminta kepada media untuk tetap menjaga Independensi dalam melakukan pemberitaan.(bhc/rat)



 
   Berita Terkait >
 
 
 
ads1

  Berita Utama
5 dari 6 Orang Terjaring OTT KPK Ditetapkan Tersangka Kasus Proyek Jalan di Sumatera Utara

Pengurus Partai Ummat Yogyakarta Buang Kartu Anggota ke Tong Sampah

Kreditur Kondotel D'Luxor Bali Merasa Ditipu Developer PT MAS, Tuntut Kembalikan Uang

Jokowi Akhirnya Laporkan soal Tudingan Ijazah Palsu ke Polisi, 5 Inisial Terlapor Disebut

 

ads2

  Berita Terkini
 
Psikiater Mintarsih Ungkap Kalau Pulau Dijual, Masyarakat akan Tambah Miskin

5 dari 6 Orang Terjaring OTT KPK Ditetapkan Tersangka Kasus Proyek Jalan di Sumatera Utara

Psikiater Mintarsih: Masyarakat Pertanyakan Sanksi Akibat Gaduh Soal 4 Pulau

Terbukti Bersalah, Mantan Pejabat MA Zarof Ricar Divonis 16 Tahun Penjara

Alexandre Rottie Buron 8 Tahun Terpidana Kasus Pencabulan Anak Ditangkap

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2