SURABAYA, Berita HUKUM - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menuding KPU tidak akan mampu menyelenggarakan Pemilu 2014 mendatang secara baik. Baik dalam ukuran WALHI adalah bukan hanya secara prosedural berlangsung secara jujur dan adil, juga mampu memberikan pembelajaran politik kepada rakyat dan menghasilkan para pemimpin yang amanah, adil dan peduli terhadap lingkungan. Hal ini ditegaskan Direktur Eksekutif Nasional WALHI Abetnego Tarigan di sela-sela kegiatan Konsultasi Nasional Lingkungan Hidup WALHI di Surabaya.
WALHI menilai ada indikasi bahwa KPU telah dibajak di tengah-tengah menguatnya gerakan elit politik konservatif dan kelompok neo orba yang ingin kembali eksis dalam kekuasaan politik di Indonesia akhir-akhir ini. “Kita saat ini sedang menghadapi tantangan yang berat dalam mengembangkan demokrasi,” kata Abetnego Tarigan. Hal ini dikarenakan semakin rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik dan parlemen. Berbagai upaya advokasi yang dilakukan tidak akan memberikan manfaat yang berarti jika hasil Pemilu 2014 masih menempatkan para politisi yang terlibat dalam perusakan lingkungan di Parlemen.
Ruang partisipasi publik untuk ikut mempengaruhi jalannya kebijakan pemerintah juga dikatakan masih kecil, belum ada transparansi (dalam pengelolaan dana maupun pengambilan keputusan). Hal ini menjadi titik krusial dan Pemilu 2014 ini menjadi penting bagi gerakan lingkungan hidup Indonesia.
Lebih lanjut Abetnego Tarigan menyatakan masuknya Indonesia pada kategori investment grade mendorong investor global untuk masuk ke negeri ini. Ada banyak kemudahan investasi yang diluncurkan seperti MP3I, UU Pengadaan Tanah, UU Penanganan Konflik Sosial, MP3KI, RTRW dan sebagainya. Namun sudah menjadi rahasia umum bahwa peraturan tersebut hanya ditujukan untuk pertumbuhan ekonomi dengan mengabaikan hak-hak rakyat dan lingkungan.
Euforia demokrasi tidak diiringi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia di pemerintahan. Menjadi penguasa tidak dipandang sebagai pelayan publik, tapi sebagai jalan menambah kekuasaan dan mempertebal kantong pribadi. Apalagi menjadi pejabat politik sekarang umumnya membutuhkan biaya kampanye yang amat besar untuk survei, pencitraan, dan pendekatan kepada pemilih. Sumber utama dana kampanye tersebut biasanya antara dari tabungan dan penjualan aset kandidat yang perlu balik modal setelah terpilih atau dari pengusaha hitam yang ingin mendapatkan fasilitas dan proyek.(rls/bhc/opn) |